-Title :
Who Should I Choose? (Part 2)
-Author :
Fani Yunisa
-Main Cast :
Park JiYeon (T-Ara)
Kwon JiYong/G-Dragon (Big Bang)
Lee Donghae (Super Junior)
-Supporting Cast :
Im Yoona (SNSD)
Choi Sooyoung (SNSD)
Park GyuRi (Kara)
Park Sunyoung/Hyomin (T-Ara)
-Rating :
PG
-Genre :
Romatic/love, friendship
-Length :
Chapter
---
Aku menghabiskan hari-hari ke depan bersama JiYong. Aku berusaha melupakan Donghae oppa dan sedikit demi sedikit bayangannya mulai hilang dari kepalaku. Aku yakin ia lebih bahagia bersama Yoona. Tiap hari aku selalu melihat mereka jalan bersama sambil bergandengan tangan. Yah walaupun masih terasa sakit jika melihat mereka berdua, tapi tidak sesakit waktu itu.
Karena terlalu sering menghabiskan waktu bersama JiYong, mau tak mau aku jadi bahan pembicaraan orang. Mereka mengira aku berpacaran dengannya. Banyak yeoja yang kecewa mendengar gosip itu, bahkan Sooyoung sering mendelik marah padaku kalau bertemu. Tapi aku tak peduli. Toh aku dan JiYong hanya bersahabat.
Sore setelah jam kuliah terakhir selesai, JiYong mengajakku ke sebuah cafe coffee dekat kampus. Aku pun tak menolak ajakannya karena cuaca memang agak dingin dan aku membutuhkan minuman hangat. Aku pernah dua kali mampir ke caffe itu bersama Donghae oppa. Begitu masuk, kami disambut pelayan cafe dan menunjukan beberapa tempat kosong untuk kami. Tak banyak pelanggan sore ini, hanya ada sekitar enam orang. Kami memilih tempat duduk di sudut ruangan, dekat kaca jendela yang mengarah keluar cafe.
“Kau mau pesan apa, JiYeon?” tawar JiYong padaku.
“Milk mocca cappucino dan strawberry cake.” jawabku tanpa membuka buku menu yang pelayan berikan padaku.
“Ah..milk mocca cappucino dua, strawberry cake satu, dan chocolate cake satu.” kata JiYong pada pelayan yang langsung mencatat pesanan kami. Setelah membaca ulang pesanan kami, pelayan itu pun pergi.
“Sepertinya akan hujan.” kataku sambil melihat keluar jendela. Langit memang terlihat gelap saat ini. Dan tak lama setelah aku bicara, rintik-rintik air hujan pun mulai turun.
“Wah hebat...kau bisa meramal ya?”
“Tentu saja tidak. Hanya membaca bahasa langit.” jawabku yang memang tidak punya bakat meramal.
“Selalu itu jawabanmu. Nanti aku pinjam catatanmu ya, aku baru mencatat setengah dari yang Mr. Bush jelaskan.” katanya sambil tersenyum.
“OK. Kau tau, saat pelajaran Mr. Bush berlangsung, Hyomin yang duduk di sebelahku terus-menerus mengintrogasiku.”
“Wae?” jawabnya heran.
“Dia bertanya ‘Apakah gosip itu benar?’, ‘Apa kau berpacaran dengan JiYong?’, ‘Kapan kau jadian?’, ‘Apa kau memutuskan Donghae oppa karena dia?’, dan sebagainya. Tapi aku hanya menjawab beberapa pertanyaannya. Jujur aku tidak bisa berkonsentrasi mendengarkan penjelasan Mr. Bush.” kataku sambil melihat keluar jendela.
“Apa itu sangat mengganggumu?”
“Anio. Lama kelamaan jadi terbiasa bagiku. Apakah sekarang kau sudah punya incaran lain?” aku yakin ia tahu apa yang ku maksud dengan ‘incaran’.
“Ne. Tapi aku tak akan menyatakan perasaanku dulu padanya.”
“Wae?” tanyaku. Tapi sebelum dia menjawab, seorang pelayan datang ke meja kami dengan membawa pesanan. Baru setelah pelayan itu pergi, JiYong menjawab, “Aku ingin kau benar-benar bisa melupakan Donghae dulu. Aku tak ingin bersenang-senang dengan yeojachingu-ku sementara kau sedang bersedih.” ia menatapku lembut. Aku suka tatapan itu, membuatku nyaman. Ah...andai saja dia bukan namja player, mungkin aku akan menjadikannya...ah, anio anio, dia harus tetap menjadi sahabatku!
“Jangan begitu, aku sudah tidak apa-apa kok.” kataku. Aku mengakhiri pembicaraan dengan mulai memakan cake. Aku tak banyak bicara saat makan. Diam sambil melihat rintik-rintik air hujan membuatku lebih tertarik daripada berbicara. JiYong kelihatannya sedang mengirim pesan kepada seseorang dengan handphone-nya. Aku melihat di sudut bibirnya ada krim cake yang menempel. Tanpa basa-basi, aku langsung mengambil tisu dan membersihkan krim di sudut bibirnya. Ia tertegun melihatku, heran.
“Ada krim di sudut bibirmu.” jelasku menghapus ekspresi heran padanya yang kini berganti menjadi senyum manis.
“Oh, gomaweo.” jawabnya.
DEG! Entah kenapa melihatnya tersenyum manis seperti itu membuat jantungku berdetak cepat tak karuan. Kenapa aku ini? Hatiku berdebar.
“Wae? Kau terlihat bingung.”
“Ah, anio.” aku kembali menghabiskan cake dan kopi yang sudah mulai dingin.
Setelah keluar dari cafe coffee, kami kembali ke kampus karena motor JiYong masih di parkir di sana. Karena hujan, kami berlari-lari kecil menuju kampus. JiYong memegang tanganku erat yang entah mengapa membuat hatiku senang.
Sesampainya di kampus kami tidak langsung pulang karena hujan semakin deras. Tapi untungnya tidak berlangsung lama. Ia berikeras ingin mengantarkanku pulang. Sebelum naik motor, ia melepaskan jaket yang ia pakai dan memakaikannya padaku. Sebenarnya aku tak ingin memakainya, kasihan dia hanya memakai kaos, tapi...
“Aku tak mau tau, kalau kau sakit otomatis itu salahku. Jangan khawatirkan aku, daya tahan tubuhku lebih kuat darimu.” jelasnya. Kuakui semenjak putus dari Sooyoung, JiYong jadi lebih perhatian padaku. Mungkin karena tak punya yeojachingu, jadi tak ada yang bisa ia lakukan.
Sampai di rumah, aku langsung berbaring di tempat tidur tanpa mengganti pakaian dulu. Haahh...hari ini sangat melelahkan. Mana tugas-tugas menumpuk lagi. Aku pun mulai memejamkan mata untuk tidur, menyiapkan tenaga untuk mengerjakan tugas nanti malam. Samar-samar aku mencium sesuatu yang wangi. Dan aku baru sadar wangi itu berasal dari jaket JiYong yang belum aku lepas. Jelas sekali ini wangi parfum Silver Blue, wangi yang menjadi ciri khas JiYong karena jarang orang yang memakai parfum ini. Tentu saja karena harganya yang mahal. Lekas aku buka jaket itu dan kugantung di balik pintu. Aku pun kembali tidur.
Sialnya, malam ini aku tak bisa berkonsentrasi mengerjakan tugas. Wae? Karena wajah JiYong terus terbayang di otakku! Aish...kenapa namja itu yang aku pikirkan? Senyumnya, tawanya, dan kenangan bersamanya memenuhi isi otakku. Apa aku mulai...mencintainya? Haha...impossible! Itu tidak boleh terjadi! Aku tak ingin merusak persahabatanku dengannya yang sudah ku bangun selama 7 tahun. Aku takut kalau aku menjadi yeojachingu-nya dan tidak lama kami putus, ia akan melupakanku. Lagipula, aku juga tidak yakin kalau dia mencintaiku.
Hari demi hari kulewati bersama JiYong, dan itu malah menambah besar perasaanku padanya. Aku jadi merasa bersalah kerana aku juga belum bisa melupakan Donghae oppa. Ottokhae? Aku malah bingung sendiri.
Setelah mata kuliah Apresiasi Arsitektur selesai, aku tidak langsung pulang karena satu jam lagi ada mata kuliah Sains Arsitektur yang siap membakar otakku. Yah walaupun ada waktu satu jam, aku tak ingin pulang ke apartement meskipun jaraknya tidak jauh. Lebih baik aku membaca novel di perpustakaan kampus.
Perpustakaan sepi sekali hari ini, hanya ada sekitar 10 orang disana. Mungkin karena ini jam makan siang, mereka lebih memilih makan daripada membaca buku. Aku berjalan perlahan menyusuri rak-rak tinggi bagian 'Novel'. Mata dan jari telunjukku mencoba menjelajahi satu per satu novel yang ada. Nah itu dia, The Magic Thief. Aku memang belum pernah membacanya, tapi JiYong bilang novel itu menarik. Segera ku ambil novel itu, tapi aku kalah cepat oleh orang yang berada di sisi lain rak ini. Orang yang juga ingin meminjam novel ini. “Ya! Aku sudah akan membawanya, kenapa kau rebut duluan??!” bentakku sambil menghampiri orang yang mengambil novel di balik rak itu.
Seketika jantungku seperti terkena tegangan listrik dalam jumlah yang besar. Terkejut melihat siapa yang membawa novel itu. Ternyata Donghae oppa.
“JiYeon?” sapanya yang terlihat sedikit(atau mungkin hanya perasaanku saja) senang. Senyum tipis menghiasi wajahnya yang tampan.
“Ah, annyeong oppa. Mi, mianhae, aku telah membentakmu.” aku malu sendiri telah membentakknya. Dengan kepala tertunduk, aku membalikkan badan hendak kembali ke tempat semula. Tapi Donghae oppa memanggilku. “JiYeon-a, kau mau meminjam buku ini kan? Ambil lah.” ia memberikan novel itu padaku.
“Gwenchana. A, aku akan mencari novel lain.” jawabku sedikit gugup.
“Eh, sejak kapan kau mengalah untuk orang lain? Sudahlah, aku juga tidak benar-benar berminat meminjamnya.” ia masih menyunggingkan senyumnya walaupun ekspresi heran terpasang di wajahnya. Yah tentu saja dia heran karena dia tahu sifatku yang tidak suka mengalah ini. Aku diam sebentar. Bingung apakah aku akan mengambilnya atau tidak. Tapi akhirnya aku ambil. “Gomaweo.” kataku sambil menyunggingkan senyum ragu-ragu yang di balasnya dengan kata “Cheonman” dan senyum hangat.
Kalau bisa aku ingin berlama-lama memandang wajahnya, tapi itu akan sangat memalukan sekali mengingat dia bukan milikku lagi. Aku pun berbalik pergi meninggalkannya. Setelah aku melangkahkan kaki beberapa langkah, terdengar suara Donghae oppa mengatakan, “Bogoshipo”. Suaranya seperti sedang berbisik, tapi aku bisa mendengarnya jelas. Aku menoleh ke arah Donghae oppa, tapi ia sudah berbalik pergi.
Apa aku salah dengar? Apa aku sedang berhalusinasi? Ya, mungkin itu hanya perasaanku saja karena aku terlalu terkejut menerima kenyataan bahwa aku telah berbicara dengannya lagi. Lagipula, ia tak mungkin mengatakan itu selain pada Yoona. Berbagai pertanyaan yang tidak bisa kujawab mulai muncul di pikiranku, tapi aku berusaha untuk tidak memikirkannya.
“JiYeon-a...kajja!” ia menarik tanganku semangat menuju motornya. Sore ini jam kuliah terakhir memang sudah selesai. JiYong mengajakku ke sebuah tempat tanpa memberi tahu dimana lokasinya.
“Mau kemana sih? Kita pulang saja yuk...sore-sore gini kan enaknya tidur!” pintaku.
“Tidur terus yang ada dipikiranmu, dasar pemalas! Memang apa yang kau dapat dari tidur? Hanya mimpi kan?” ia membuka tempat duduk motornya dan mengambilkan helm untukku. “Nih, pakai!” katanya, dan tanpa disuruh dua kali aku langsung memakainya.
“Memang apa yang akan aku dapat kalau aku ikut denganmu?” tanyaku heran. Sambil memakai helm di kepalanya, ia berbisik padaku, “Ra-ha-si-a”. Aish...menyebalkan sekali namja ini. Aku pun tak banyak bertanya lagi karena aku yakin ia tak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sekarang sedang memenuhi otakku. Dan tidak menunggu lama, kami pun berangkat.
Setelah kurang lebih 30 menit, akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Setahuku, ini adalah daerah perbatasan kota sebelah Timur. “Bukit Juhwangsaek.” gumamku pelan melihat sebuah papan yang sudah ditumbuhi lumut. Aku memang pernah mendengar nama bukit ini, tapi aku belum pernah mengunjunginya.
Motor JiYong diparkirkan di bawah pohon besar. Dari sini terlihat sekali pemandangan kota yang indah dan penuh dengan gedung-gedung tinggi. Sayang JiYong mengajakku di sore hari. Kalau malam hari mungkin pemandangan kota akan terlihat lebih indah dengan lampu-lampu yang meneranginya. Kulihat sekeliling ternyata bukan hanya aku dan JiYong yang ada di sini. Ada sepasangan kekasih dan keluarga kecil di sana.
Keluarga itu sepertinya sedang piknik karena mereka sedang duduk beralaskan tikar yang penuh dengan makanan. Sang ibu sedang menyiapkan makanan, dibantu sang ayah. Sedangkan anak perempuannya, yang mungkin umurnya sekitar 8 tahunan, sedang bercanda dengan adik laki-lakinya yang sedikit lebih muda darinya. Sedangkan pasangan yang sedang saling rangkul itu duduk di sebuah batu besar menghadap ke pemandangan kota.
Kami duduk di sebuah bangku kayu yang tak jauh dari pohon tempat JiYong memarkirkan motornya. Entah sudah berapa tahun bangku itu ada di sana karena warnanya sudah agak menghitam.
“Ada apa kau mengajakku ke sini?” tanyaku membuka perbincangan. Tapi bukannya menjawab, dia malah mengambil sesuatu dari tasnya. Ternyata dua burger yang masih terbungkus dan dua botol air mineral kecil.
“Nih, aku tau kau belum makan siang.” katanya sambil menyerahkan salah satu burgernya padaku. Ah...dia selalu tahu kalau aku sedang kelaparan. “Gomaweo.” jawabku sambil mengambil burger darinya. Kami makan bersama.
“Nanti lusa ada pertandingan basket lagi di aula kampus. Nonton ya!”
“Ne, kalau aku tidak ada acara ya!” aku melihatnya tersenyum yang membuat matanya bertambah kecil. Neomu aegyo!
Lama kami makan dalam diam. Mungkin JiYong tak berbicara karena memang tak ingin makan sambil bicara. Lain denganku, aku tak bicara karena sedang asyik menikmati pemandangan kota yang luar biasa indah. Atau mungkin JiYong tak ingin menggangguku yang sedang memusatkan perhatian pada pemandangan kota. Ia tahu kalau aku paling tidak suka diganggu jika sedang menikmati indahnya sebuah pemandangan.
Tiba-tiba aku teringat pertemuanku dengan Donghae oppa tadi siang. Ah...aku merindukannya. Merindukan saat-saat ketika aku masih jadi miliknya. Selama satu tahun berbagi suka dan duka. Mengerti bagaimana perasaan masing-masing. Memaklumi semua kekurangan yang menghambat kami. Pertemuan tadi benar-benar mengobati rasa rinduku padanya, walaupun hanya sebentar.
Ah, aku sangat berharap bahwa yang tadi aku dengar bukanlah ilusi. Bogoshipo. Apakah benar-benar bukan Donghae oppa yang mengatakannya? Padahal aku mendengarnya jelas walau pelan. Apa sebaiknya aku menceritakan ini pada JiYong? Tapi sepertinya agak aneh bagiku menceritakan seseorang yang masih kucintai pada orang yang sedang kucintai.
Tiba-tiba JiYong membawa bungkusan burger yang sedang kupegang.
“Kalau sudah habis cepat buang. Jangan melamun terus! Nanti kau malah bertambah cantik, hahaha...” ia tertawa melihat mukaku yang langsung memerah seketika. Ia bangkit untuk membuang bungkusan burger ke tempat sampah dekat batu besar dan kembali duduk di sampingku. Aku memang terlalu terhanyaut pada khayalan-khayalan yang membingungkan. Sampai-sampai aku tidak sadar kalau burgerku sudah habis.
“JiYeon-a.” panggilnya.
“Mwo?” jawabku tanpa menoleh padanya. Mataku masih terpaku pada pemandangan kota di sana.
“JiYeon-a!”
“Mwo?”
“Ya! Park JiYeon!!”
“Mwo??” dengan sedikit kesal aku menoleh padanya. Tapi rasa kesalku langsung hilang ketika melihat senyum yang terpasang di wajahnya.
“JiYeon, apa kau sudah bisa melupakan perasaanmu pada Donghae?”
Pertanyaan itu membuatku bingung. Ada sedikit rasa takut yang menghantui hatiku. Aku harus menjawab apa? Jawaban yang benar adalah aku belum bisa melupakan perasaanku pada Donghae oppa. Jika aku menjawab jujur, aku kasihan pada JiYong yang tidak bisa menyatakan perasaannya pada yeoja yang sedang dia incar. Tapi jika aku berbohong, aku malah takut ia akan dimiliki yeoja incarannya dan tidak akan perhatian lagi padaku. Aku sangat bingung. Bingung dengan perasaanku sekarang.
“Jangan pedulikan aku, aku tidak apa-apa kok. Kalau kau sangat mencintai yeoja incaranmu itu, cepatlah nyatakan perasaanmu.” jawabku akhirnya. Bukan ‘ya’, bukan juga ‘tidak’.
“Ne, aku memang sangat mencintainya. Tapi aku tak bisa kalau kau belum bisa melupakan Donghae.”
“Ya! Jangan membuatku merasa bersalah. Sejak kapan kau menunda-nunda hal seperti itu? Biasanya juga tanpa basa-basi kau langsung bilang pada yeoja itu bahwa kau mencintainya.”
“Sebenarnya bukan itu masalahnya...”
“Mwo? Yeoja-mu itu membuatkan syarat agar membuatku melupakan Donghae oppa dulu? Ha, yeoja aneh...” aku menyunggingkan senyum meledek.
“Anio. Itu syaratku. Syarat untuk yeoja itu. Sampai kapan pun aku tak akan menyatakan perasaanku padanya kalau kau belum melupakan Donghae. Dia tak mungkin bisa menerimaku kalau itu belum terwujud. Yah walaupun aku sedikit ragu dia akan menerimaku bahkan setelah kau melupakan Donghae.” tuturnya. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalaku bingung.
“Kau dan yeoja-mu itu aneh, sangat aneh. Kalian menjadikan aku sebagai syarat. Dan itu membuatku sangat bingung. Ada hal-hal yang tidak aku mengerti. Ya, kalian terlalu rumit untuk dimengerti. Pasangan aneh. Sudahlah jangan pikirkan aku, anggap saja aku sudah bahagia sekarang, OK?”
“Sudah kubilang bukan itu masalahnya...”
“Lalu masalahnya apa? Jangan membuat aku bingung.” kataku dengan sedikit tidak sabaran. Aku sebal terus-menerus dibuat bingung. Dia diam melihat pemandangan kota. Tapi walaupun begitu, tatapan matanya kosong, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu, berpikir apakah seharusnya dia mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Tak lama ia mengalihkan matanya padaku.
“Masalahnya, yeoja yang aku cintai adalah kau...” katanya pelan tapi jelas. Aku diam, mencoba mencerna apa yang barusan ia katakan. Apakah baru saja dia mengatakan bahwa ia mencintaiku? Atau aku salah dengar seperti kejadian di perpustakaan tadi siang? Ah tidak, mungkin aku hanya salah dengar. Akhirnya pemikiran itu membuatku tertawa kecil yang tentunya membuat dia heran.
“Wae?” tanyanya.
“Ah, anio. Aku sepertinya tadi salah dengar kalau kau mengatakan bahwa kau mencintaiku, haha.” aku tertawa miris.
“Itu memang nyata Park JiYeon! Aku memang mencintaimu. Saranghae! Aku sudah bertekad untuk tidak menyatakan perasaanku padamu kalau kau belum melupakan Donghae, tapi aku tak bisa menahannya!” ia menggenggam tanganku erat.
“M, mwo??” aku yang mendengar penjelasannya hanya bisa diam dengan beribu pertanyaan muncul di kepalaku.
“Terserah kau mau percaya atau tidak, tapi sebenarnya aku menjadi namja player seperti ini karena kau!”
“K, kenapa kau jadi menyalahkan aku?” protesku dengan gugup. Astaga, jantungku tak bisa berdetak dengan beraturan.
“Aku sudah lama mencintaimu. Tapi aku takut kalau aku menyatakan perasaanku, kau akan menolakku dan menjauhiku. Aku berusaha melupakanmu dengan menjalin hubungan dengan yeoja lain. Tapi sebanyak apa pun aku memiliki yeojachingu, aku tetap tidak bisa melupakanmu. Kau tidak tau betapa hancurnya hatiku saat tau kau sudah dimiliki Donghae.” ne, aku memang tak tahu. Apakah itu sebabnya ia selalu terlihat murung ketika aku menerima cinta Donghae oppa tahun lalu? Jadi penyebab murungnya bukan karena ia putus dengan GyuRi?
“Aku langsung memutuskan Sooyoung esoknya setelah aku tau kau putus dengan Donghae. Jujur aku senang kau putus dengannya. Seperti ada cahaya terang yang memberiku harapan akan adanya matahari yang menyinari hari-hariku yang gelap.”
Ottokhae? Apa yang harus aku katakan? Mulutku serasa terkunci. Rasa senang, takut, ragu, marah, gugup, malu, dan bingung menguasai hatiku.
“Aku benar-benar mencintaimu. Apa kau mau menjadi yeojachingu-ku? Aku berjanji kalau kau mau menjadi yeojachingu-ku, aku...” ia mulai memperomosikan janjinya, tapi aku memotongnya.
“Cukup! Aku tak bisa mendengar lebih banyak lagi. Aku, aku...biarkanlah aku berpikir dengan tenang. Aku tak bisa berpikir dengan jernih.”
“Arasseo, aku akan selalu menunggu jawabanmu.”
Sore ini adalah sore yang membingungkan sekaligus sore yang menakjubkan, tapi aku tak bisa menjelaskannya kenapa. Apa aku akan menerimanya menjadi namjachingu-ku? Ottokhae?? Ingin menangis rasanya memikirkan itu.
Hari ini aku tak ada jadwal kuliah. Aku lebih memilih diam di apartement. Aku sedang malas pergi keluar hari ini. Berkali-kali JiYong menghubungiku, tapi tak kuangkat. Aku hanya mengiriminya pesan agar tak mengangguku sehari ini karena aku butuh memulihkan pikiranku.
Tapi ternyata diam seharian di kamar apartement membuatku bosan. Akhirnya aku memutuskan pergi ke taman. Untung sekarang ini taman tidak terlalu ramai, jadi aku sedikit tenang. Udara sore hari memang membuatku nyaman. Aku duduk di bangku taman, di bawah pohon besar yang rindang. Aku memperhatikan anak-anak yang sedang bermain di kotak pasir dan berusaha melupakan sejenak masalah kemarin.
Tak lama ada telepon masuk. Aku mengira pasti JiYong, tapi ternyata bukan. Kulihat nama Donghae oppa tertera di layar handphone. Aneh, ada apa Donghae oppa meneleponku? Semenjak aku putus dengannya, dia tak pernah mengontakku lagi. Aku bingung apakah aku harus mengangkatnya atau tidak. Tapi akhirnya aku mengangkatnya.
“Yoboseo?”
“Ah, JiYeon-a. Apa kau sedang di apartement?”
“Aku sekarang sedang di luar oppa, wae?” tanyaku heran.
“Anio, hanya saja aku kebetulan lewat apartementmu, dan aku ingin mampir, sekalian ada yang mau kubicarakan. Sekarang kau ada dimana? Di taman?” tebaknya dengan tepat.
“Ne.”
“Arasseo, aku akan ke sana. Tunggu sebentar.” ia menutup teleponnya tanpa menunggu jawabanku. Ada perlu apa dia denganku? Apa ini masalah novel yang ingin dia pinjam kemarin? Ah, molla.
Tak lama seorang namja dengan memakai kaos berlapis sweater datang ke taman. Begitu melihatku, ia langsung duduk di sampingku.
“Sedang apa kau sendirian di sini, JiYeon?” tanya Donghae oppa membuka pembicaraan.
“Tidak sedang apa-apa. Aku hanya bosan diam seharian di rumah. Oppa sendiri memangnya sedang apa di dekat apartementku? Apa jam kuliah oppa sudah selesai?” tanyaku. Astaga, kenapa aku jadi gugup begini? Aku berusaha menutupi rasa gugupku agar Donghae oppa tak mengetahuinya. Tak mengetahui bahwa aku masih mencintainya.
“Aku sudah ke toko bunga sebentar, membeli paket.” katanya. Ah, mungkin paket bunga untuk Yoona.
“Bukan untuk Yoona, tapi untuk eomma-ku yang besok berulang tahun.” jelasnya. Sepertinya ia tahu apa yang ada di pikiranku.
“Oh.” jawabku singkat. Kami saling diam beberapa saat. Aku sempat sebal juga karena tadi dia bilang ada yang ingin dibicarakan. Tapi sekarang dia malah diam saja.
“JiYeon.” panggilnya tiba-tiba.
“Ne?”
“Apa itu benar?”
“Mwo?” tanyaku yang tidak mengeti apa yang ia tanyakan.
“Apa benar kau berpacaran dengan Donghae?” tanyanya. Kenapa ia menanyakan hal itu? Bukankah sekarang itu bukan urusannya?
“Sampai sekarang kami masih bersahabat. Wae?”
“Huff...syukurlah.” ia bernafas lega. Mwo? Apa yang barusan ia katakan? Syukurlah? Apa aku tidak salah dengar? Mengapa ia berkata seperti itu? Dan sekali lagi, sepertinya ia tahu apa yang ada di pikiranku. Ia hanya tersenyum.
“Aku sudah putus dengan Yoona. Ternyata aku sudah salah memilihnya. Aku bodoh sekali.”
“Oppa sudah putus dengan Yoona? Wae?”
“Ternyata aku hanya dimanfaatkan olehnya. Aku hanya dibutuhkan saat dia sedang kesulitan mengerjakan tugas. Dan aku hanya dibutuhkan kalau dia sedang berkumpul dengan teman-temannya, yah sebagai pajangan. Dia juga terlalu materialistis. Apa-apa minta dariku. Aku menyadari itu saat aku melihatnya digandeng mesra oleh seorang namja sambil tertawa-tawa puas. Dasar yeoja penipu!” jelasnya. Terlihat sekali kalau ia marah pada Yoona. Aku tak menyangka Yoona seperti itu. Aku kira ia gadis baik-baik yang bisa membuat Donghae oppa bahagia.
“Bersabarlah oppa. Aku yakin kau bisa melupakannya. Tak usah terlalu dipikirkan. Masa depan terlalu penting untuk dipikirkan daripada masa lalu.” kataku mencoba memberi semangat.
“Gomaweo. Aku sadar aku sudah melepaskan seseorang yang berharga bagiku.” sepertinya aku tahu siapa yang dia maksud. Tapi aku tetap bertanya padanya.
“Nugu?”
“Kau, JiYeon. Tak ada gadis sebaik kau. Aku sangat menyesal telah menyakitimu.” ia menggenggam tanganku erat.
“O, oppa...” jawabku tergagap.
“JiYeon-a...apa kau mau menjadi yeojachingu-ku lagi? Aku berjanji tak akan menyakitimu dua kali. Aku tak bisa bayangkan hidupku tanpamu. Saranghae...” ujarnya. Bagaimana ini? Ini malah membuat permasalahanku semakin besar. Aku harus menjawab apa? Aku bingung. Sangat bingung. Terlalu bingung untuk memikirkannya. Aku diam sangat lama. Donghae oppa masih memegang tanganku erat.
“Ottokhae?”
“Molla. Aku tak bisa menjawabnya sekarang oppa.” jawabku akhirnya.
“Gwenchana. Aku akan menunggu keputusan terbaik darimu.”
Sore yang sangat-sangat membingungkan. Aku senang mengetahui bahwa Donghae oppa ternyata masih mencintaiku. Tapi aku juga sedih karena masalahku semakin membesar. Ya Tuhan, kenapa kau membiarkan aku mencintai dua orang namja yang sama-sama mencintaiku? Mana yang harus aku pilih? JiYong? atau Donghae oppa? Aaaa..aku tak bisa memilih salah satunya. Adakah seseorang yang bisa membantuku mencari jalan keluar dari masalah ini? Aish...pikiranku kusut. Mana yang terbaik bagiku?
Kwon JiYong. Namja player. Setahuku mantan yeojachingu-nya lebih dari 10. Dia terkenal di seluruh kampus karena jabatannya sebagai ketua tim basket. Aku kenal baik orang tua-nya. Dia sahabatku sejak SMP, tentu saja dia lebih tau sifat dan kebiasaanku. Dia tampan, baik, jago olahraga, dan menomorsatukan chingu-nya daripada yeojachingu-nya. Kalau aku jadi yeojachingu-nya, apakah aku juga akan dinomorduakan?
Lee Donghae. Namja pintar. Dia selalu perhatian padaku saat kami masih berpacaran. Dia juga salah satu menantu idaman orang tuaku, walaupun mereka tidak memaksaku untuk menikah dengannya. Aku nyaman bersamanya. Dia juga terkenal di seluruh kampus, tentu saja karena kepintarannya dalam ilmu kedokteran. Dia juga sangat diandalkan oleh para dosen. Tapi sayang dia pernah menduakanku. Apakah jika aku menjadi yeojachingu-nya, dia akan kembali menduakanku?
-TBC-
PLEASE LEAVE YOUR COMMENT...!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar