Title :
나만 몰랐었던 이야기 (Rom: Naman Mollasseotdeon Iyagi) / A Story Only I Didn't Know
Author :
JunEonnie
Main Cast :
Son Min Yeong [OC]
Kim Jaejoong (JYJ)
Support Cast :
Park Yoochun (JYJ)
Dokter Yong [OC]
Rating :
PG-13
Genre :
Romantic, love, life, AU
Length :
Oneshot
Ps :
Ini sebenernya ff request-an temen aku yang minta dibuatin ff Gi Kwang (BEAST) dan aku udah publish itu di akun Facebook. Sekarang aku publish lagi disini tapi beda cast. Kenapa? Soalnya aku udah pernah bikin ff Gi Kwang disini. So, aku ganti deh sama Jaejoong oppa!!!^^
Warning! :
PERINGATAN KERAS!!! => Biar feel-nya dapet, baca ff-nya harus SENDIRIAN di tempat yang tenang. Kalo feel-nya belum dapet juga, berarti ff aku-nya yang jelek alias gak berkualitas-.-". Sebelumnya aku udah ngasih tau kalo ff ini ganti cast, jadi sorry aja kalo masih ada kata Gi Kwang, Kwangie, Ram Mi, atau yang lainnya. For the last, beware of the typo and GAJEness!
Disclaimer : The story is mine! No plagiarisme please!!!
Happy reading...^^
---
Even when I close my eyes, the light that used to shine on us is still there
Our precious times, I’ll cherish them deeply
Even when the pain comes in many times
Those days we promised of forever
I will never forget those moments until the end
I Remember
The promise we made to stay together
Forever (I’ll keep it right here)
Even though I might end up walking this road alone for a while
I will show you my everything
(I Remember - Bang Yong Gook Ft. B2ST’s Yang Yo Seob)
---
Jaejoong’s POV
Ini hari yang menyenangkan untuk setiap orang bersenang-senang di luar rumah, khususnya para remaja. Tapi tidak untukku. Ini adalah hari yang buruk.
Tidak, tidak, tidak hanya hari ini, bahkan setiap hari adalah hari yang buruk untukku.
Aku memang namja normal seperti yang lainnya, yang biasa bekerja, bersenang-senang, dan melakukan aktivitas lainnya. Tapi itu dua minggu yang lalu sebelum aku tahu bahwa aku terkena leukimia.
Ya, leukimia. Penyakit yang membuatku lebih banyak menghabiskan waktu di apartement daripada di kantor. Penyakit yang membuatku mengacuhkan Min Yeong belakangan ini.
Son Min Yeong, dialah yeoja yang sudah menjadi yeojachingu-ku selama tiga tahun ini. Hanya dia, tidak ada yang lain. Aku sangat mencintainya, tentu saja. Dia cantik, lugu, dan terlihat dewasa walaupun dia masih seorang mahasiswi tingkat akhir di Seoul University.
Aku sengaja tidak memberitahukan penyakit ini padanya. Cukup hanya aku yang menderita. Saat dia datang lima hari yang lalu pun, aku mengacuhkannya. Bukan karena aku mulai membencinya, tapi karena aku ingin membuat dia membenciku. Dan entah mungkin hanya perasaanku saja, tapi sepertinya dia menangis saat meninggalkan apartementku.
Mungkin terdengar sedikit aneh kalau aku ingin membuatnya membenciku sementara aku sebenarnya sangat mencinatai Min Yeong. Tapi aku berbuat seperti itu bukan tanpa tujuan. Aku hanya ingin meninggal tanpa membuat Min Yeong menderita. Aku ingin dia mencari kebahagiaannya sendiri tanpa aku. Aku pun tidak ingin Min Yeong mengetahui kepergianku.
Dokter memang sudah berusaha mencari calon pendonor sumsum tulang yang cocok untukku, tapi hasilnya nihil. Dan itu berarti hidupku tidak akan lama lagi. Walaupun begitu, dokter mengatakan bahwa tim-nya tidak akan menyerah untuk terus mencari pendonor yang cocok.
Eolmana eolmana deo neoreul, ireohke baraman bomyeo honja, ibaramgateun sarang i geojigateun sarang, gyesokhaeya niga nareul sarang hagenni oh...
Lagu ‘That Man’ dari Hyun Bin pun mengalun keras dari ponselku, itu tandanya seseorang meneleponku. Dan dia Yoochun.
“Yeobosseo?”
“Ya! Jaejoong-a...kenapa hari ini kau tidak masuk kerja lagi? Lebih sering lagi dari ini direktur akan benar-benar memecatmu.”
“Pecat saja aku kalau begitu...” jawabku lesu. Yoochun memang tidak tahu tentang penyakitku ini. Bukan hanya dia, semua orang yang dekat denganku tidak ada yang tahu apa yang sedang terjadi padaku. Termasuk kedua orang tuaku. Mereka terlalu sibuk dengan pekerjaanya masing-masing di Jerman. Lagipula, apa mereka masih mempedulikanku seandainya mereka tahu tentang penyakitku ini?
“Apa yang kau bicarakan? Belakangan ini kau berubah. Apa kau sedang dalam masalah?” tanya Yoochun dengan nada curiga.
“Tidak, aku baik-baik saja Yoochun-a, setidaknya sampai saat ini. Ah iya, bisa aku minta tolong padamu?”
“Apa?”
“Besok aku akan mengirimkan surat pengunduran diriku. Dan aku ingin kau tidak menanyakan apa alasannya. Karena aku bersumpah, sekeras apapun kau menanyakannya, aku tidak akan pernah menjawabnya. Arasseo?”
“Mwo? Mengundukan diri? Kau serius? Waeyo???” ucap Yoochun yang jelas-jelas terkejut.
“Apa tadi aku belum mengatakan bahwa aku tidak akan memberitahumu alasannya? Atau, kau tidak mendengarnya?”
“Ya! Hajiman...!”
“Sudahlah, aku mau istirahat. Annyeong!” dan tanpa menunggu jawaban lain dari Yoochun, aku langsung menutup telepon. Dia pasti akan mendesakku menjelaskan tentang pengunduran diriku kalau aku tidak menutup teleponnya terlebih dahulu.
Eolmana eolmana deo neoreul, ireohke baraman bomyeo honja, ibaramgateun sarang i geojigateun sarang, gyesokhaeya niga nareul sarang hagenni oh...
Ponselku berdering lagi, dia memang keras kepala!
“Ya! Aku benar-benar mau istirahat, Park Yoochun!” jawabku. Tapi alangkah malunya aku saat tahu bahwa bukan Yoochun-lah yang menelepon.
“Maaf tuan, ini dari Asan Medical Center.” ucap seorang yeoja, mungkin petugas rumah sakit.
“Ah, mianhaeyo, jeongmal mianhaeyo. Ada perlu apa?” jawabku.
“Pihak rumah sakit memanggil anda sore ini untuk membicarakan soal penyakit anda, Tuan Kim.”
“Untuk apa? Apa ini tentang pendonor sumsum tulang?” tanyaku penasaran. Jika bukan masalah pendonor, aku malas untuk datang ke rumah sakit.
“Untuk lebih jelasnya silakan tuan datang tepat pukul 4 sore ini. Kami tunggu.” jawab si petugas.
“Ah, ne. Gamsahamnida.” klik, aku pun menutup telepon. Ada apa pihak rumah sakit memanggilku? Apa mereka menemukan pendonor sumsum tulang untukku?
Tanpa pikir panjang, aku pun mengambil jaket yang menggantung di balik pintu kamar dan pergi ke rumah sakit.
Jaejoong’s POV End
---
Author’s POV
“Jeongmal? Nugusseo?” tanya Jaejoong tanpa bisa menutup rasa bahagianya. Sore ini Dokter Yong memberitahu bahwa pihak rumah sakit telah menemukan pendonor yang cocok untuknya. Ini tentu saja membuat Jaejoong sangat senang.
“Ya, itu kabar gembiranya dan maaf, saya tidak bisa memberitahu anda. Pendonornya sendiri yang meminta saya untuk merahasiakan identitasnya. Dia penderita kanker hati stadium akhir. Sebenarnya kami pihak rumah sakit masih bisa menyembuhkan orang ini, tapi kemungkinan berhasilnya hanya 40%. Dan sekarang anda tahu sendiri, dia lebih memilih untuk mendonorkan sumsum tulangnya yang ternyata cocok dengan sumsum tulang anda. Dia ingin kematiannya berharga, setidaknya untuk orang lain.” jelas Dokter Yong dengan bijaksana. Rambutnya yang sedikit memutih membuatnya terlihat lebih tua dari umurnya.
“Tidak bisakah saya tahu namanya saja? Setidaknya saya harus mengucapkan terima kasih padanya.” paksa Jaejoong. Dia sadar bahwa dia akan membuat nyawa orang lain melayang demi kesembuhannya walaupun orang itu sudah merelakannya. Maka dari itu, dia harus mengetahui namanya.
“Mianhae Tuan Kim, saya tidak bisa. Pendonor memperbolehkan saya memberitahukan identitasnya pada anda kalau dia sudah meninggal. Itu pesannya pada saya.” jawab Dokter Yong tanpa mengubah pendiriannya.
“Baiklah baiklah. Anda bilang kabar baik dan kabar buruk. Kalau begitu, apa kabar buruknya?” tanya Jaejoong lagi. Dia menghelai nafas panjang sebelum mendengar kabar buruk yang akan dikatakan Dokter Yong.
“Kemungkinan berhasilnya hanya 50%. Ada sedikit kelainan pada tulang rusuk anda dan itu membuat operasi menjadi lebih sulit. Sangat mungkin terjadi kegagalan dalam operasi ini. Dan itu akan berakibat fatal pada keselamatan nyawa anda.” jelas Dokter Yong dengan wajah menyesalnya.
DEG! Pernyataan ini membuat Jaejoong kehilangan semangatnya. Itulah alasan mengapa Jaejoong membenci kata ‘setengah-setangah’ karena tidak ada kepastian di dalamnya. Tapi yang pasti, tidak ada pilihan lain selain ‘hidup’ atau ‘mati’.
“Tapi anda akan mengusahakannya kan?”
“Tentu saja. Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk keselamatan anda. Saya juga sadar bahwa leukimia bukan penyakit yang mudah disembuhkan. Masalahnya, apa anda siap menerima resiko ini?” tanya Dokter Yong.
Jaejoong tampak diam berpikir dan bertanya pada dirinya sendiri apakah dia siap menerima resikonya. Kehilangan nyawa dalam keadaan seperti ini tidak membutuhkan waktu yang lama. Dan mungkin orang tuanya tidak akan keberatan kehilangan anak satu-satunya mengingat mereka memang jarang bertemu ataupun berkomunikasi.
Masalahnya, apa dia siap kehilangan Min Yeong? Jaejoong begitu mencintai yeoja itu. Yah, tapi bagaimana pun kondisinya, dia harus siap.
“Saya siap. Bagaimana pun juga, satu-satunya jalan untuk bertahan hidup hanya dengan operasi ini. Jika kita tidak mencobanya, kita tidak akan tahu kan? Baiklah, kapan operasinya dilakukan?” tanya Jaejoong dengan berusaha tersenyum.
“Operasinya akan dilakukan besok lusa mengingat kondisi anda dan pendonor sudah sangat riskan. Dan datanglah pukul 6 pagi karena operasi akan dilakukan tepat pukul 7. Silakan isi data ini di rumah dan segera serahkan pada petugas resepsionis saat anda datang nanti.” Dokter Yong menyerahkan surat besar berwarna coklat yang berisi data-data isian pada Jaejoong.
“Ne, gamsahhamnida.” Jaejoong pun pergi meninggalkan ruang dokter sambil membawa surat besarnya.
Jaejoong berpikir bahwa tidak akan ada waktu untuk membuat Min Yeong membencinya. Masih ada kemungkinan dia selamat setelah operasi dilakukan dan dia tidak ingin Min Yeong membencinya setelah ia bebas dari penyakit menyebalkan ini. Yah, walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa yeojachingu-nya itu akan menangis melihat kepergiannya.
Dan ini juga berarti Jaejoong harus menunda sementara niatnya untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya.
Author’s POV End
---
Min Yeong’s POV
“Jaejoong oppa~ ireonaaa...!!!” aku mengoyang-goyangakan tubuh Jaejoong oppa yang sedang tertidur pulas di kamarnya. Dia memang sulit dibangunkan!
“Jaejoong oppa~ IREONAAA...!!!” teriakku di dekat telinganya. Dan, dengan malas, dia akhirnya membuka mata.
“Ige mwoya? Bagaimana kau bisa masuk ke apartementku?”
“Oppa lupa kalau oppa pernah memberiku kunci cadangan apartement ini padaku? Sekarang bangunlah, aku sudah menyiapkan sarapan kesukaanmu pagi ini.” aku pun memaksanya bangun dari tempat tidur.
“Hmm...masitta. Aku tidak tahu kau bisa memasak makanan kesukaanku. Apa ini benar-benar masakan buatanmu?” tanya Jaejoong oppa dengan wajah ‘tak-percaya’nya itu.
“Cih, apa oppa meragukan kemampuanku? Aku belajar membuat ini dengan susah payah kemarin.” jawabku.
“Arasseo, aku percaya, gomaweo. Aku hanya merasa aneh saja dibuatkan masakan seperti ini olehmu. Ini baru pertama kali dan...hey, pasti ada yang kau inginkan, benar kan?” tanya Jaejoong oppa curiga. Dia memang selalu tahu.
“Anio. Aku hanya ingin oppa menemaniku seharian ini, otte?” pintaku manja.
“Hmm...sudah kukira. Odika?”
“Mm...bagaimana kalau ke Pasar Dongson dan pemeran seni di pusat kota Seoul?” tawarku. Pasar Dongson adalah tempat dimana aku pertama kali bertemu dengan Jaejoong oppa, dan pameran seni adalah tempat dimana Jaejoong oppa menyatakan perasaannya padaku, walaupun lokasinya kini di pusat kota Seoul. Aku ingin pergi kesana dan menghabiskan waktu bersamanya hari ini.
“Baiklah. Kita berangkat setelah aku mandi.” Jaejoong oppa pun melanjutkan makannya dengan lahap. Aku senang dia menyukainya.
Saat dia mandi, aku sengaja memilihkan baju yang cocok untuknya. Menyiapkan segalanya dengan sempurna untuk hari ini. T-Shirt ungu dengan rompi hitam akan cocok kalau kupadukan dengan jeans hitam kesayangannya. Yap, ini pasti akan sangat cocok sekali melihat aku pun memakai baju berwarna ungu dan rok hitam pendek hari ini.
“Oppa, aku sudah menyiapkan bajumu di tempat tidur. Kau harus memakainya!” teriakku yang dibalas dengan kata ‘Ne’ dari dalam kamar mandi.
Min Yeong’s POV End
---
Jaejoong’s POV
Aku tidak tahu ada apa dengan Min Yeong. Dia menyiapkan sarapan kesukaanku padahal dia tidak bisa memasak. Dia juga mengajakku pergi ke Pasar Dongson dan pameran seni (tempat kenangan kami, tentu saja) hari ini, padahal dia sedang sibuk mengerjakan skripsi. Terakhir aku mengajaknya ke taman bermain, dia menolak mentah-mentah karena sedang sibuk mengerjakan skripsi. Dan sekarang dia memilihkan pakaian yang memang ingin aku pakai hari ini. Bagaimana dia bisa tahu kalau aku ingin memakai pakaian ini?
Ini membuatku berpikir negatif tentang operasi. Apakah Min Yeong merasa bahwa ia tidak akan bertemu lagi denganku? Jika seseorang akan meninggal, selalu saja ada kejadian atau perlakuan yang berbeda kan?
Aish, jauhkan pikiran itu, Jaejoong! Apapun hasilnya nanti, aku harus menerima itu. Dan jawabannya tidak akan pernah berubah, hanya antara ‘hidup’ dan ‘mati’.
Lebih baik hari ini aku bersenang-senang.
Jaejoong’s POV End
---
Min Yeong’s POV
Hari ini begitu cerah. Pasar Dongson terlihat begitu ramai dengan banyaknya pedagang yang berteriak-teriak menawarkan dagangannya. Hari ini tidak bisa dilewatkan begitu saja. Walaupun begitu, hatiku kacau hari ini. Aku tidak bisa merasakan hawa kebahagiaan orang-orang disekelilingku. Yang ada hanya hawa kehadiran Jaejoong oppa. Hawa orang yang sangat kucintai.
Hari ini aku hanya ingin menghabiskan waktu dengannya. Jujur saja, beberapa bulan belakangan ini aku merasa kesepian. Mungkin ini karena aku hanya memiliki Jaejoong oppa. Aku hanyalah seorang gadis yang kesepian. Ini semua gara-gara appa dan eomma yang meninggalkanku lebih dahulu saat 7 tahun yang lalu. Aku ini anak tunggal, makanya aku merasa kesepian karena tidak ada siapapun yang menemaniku di apartement. Aku hidup dari harta warisan appa dan eomma yang mereka titipkan pada paman. Dan itu membuatku sedih.
Sampai akhirnya Jaejoong oppa datang mengisi kesepian itu. Aku bahagia bisa bersamanya. Dia bagaikan orang tua sekaligus namjachingu untukku, dia bagaikan sahabat, kakak, dan...dia bagaikan segalanya untukku. Akhir-akhir ini aku selalu ingin menangis jika mengingatnya.
“Oppa, kau masih ingat kan kejadian tiga tahun yang lalu di tempat ini?” tanyaku tiba-tiba saat sedang berjalan-jalan di Pasar Dongson sambil memegang tangannya.
“Ne, tentu saja. Aku menabrakmu sampai semua barang bawaanmu berjatuhan. Dan kau memaki-makiku di depan semua orang, mempermalukanku lebih tepatnya. Bahkan kau sampai menyebutku ‘Namja buta’.”
“Ya! Sudah kubilang lupakan tentang ‘Namja buta’ itu oppa. Aku sendiri sangat menyesal sudah mengatakan hal itu padamu.” ucapku sambil memukul lengannya pelan.
“Haha...tapi aku suka melihatmu marah seperti itu, terlihat manis.” kata Jaejoong oppa dengan senyumnya yang manis, senyum yang belakangan ini jarang kulihat. Senyuman yang membuatku merasa lebih tenang.
“Oppa selalu saja menyukaiku saat aku marah. Apa oppa ingin aku marah setiap hari dan terlihat tampak lebih tua?”
“Anio. Sampai kapanpun kau tidak akan pernah terlihat tua dimataku.”
Aku hanya bisa tersenyum mendengar pengakuannya itu. Hanya dia yang bisa membuatku tersipu malu. Ya, hanya dia...
Saranghaeyo, Kim Jaejoong oppa~
Min Yeong’s POV End
---
Jaejoong’s POV
Setelah pulang dari Pasar Dongson, kami pergi ke tempat pameran seni. Tempat ini tidak terlalu ramai seperti di Pasar Dongson. Mungkin karena ini sudah jam makan siang dan orang-orang lebih memilih pergi ke restoran daripada pameran seni.
“Oppa, ambilkan fotoku dengan lukisan ini!” pinta Min Yeong. Dia berdiri di samping lukisan malaikat dan aku mengambil foto mengunakan camera polaroid miliknya.
“Kenapa harus dengan lukisan ini?” tanyaku setelah selesai mengambil fotonya.
“Aku menyukainya. ‘Angel’s help, gives by hands’, aku memang tidak mengerti apa artinya. Tapi aku menyukai gambar malaikat ini. Sepertinya dia sedang menolong seorang namja yang sedang dalam kesulitan.” jawabnya dengan mata kagumnya yang tertuju pada lukisan.
“Entah menolong atau membawanya pergi. Kelihatannya malaikat itu membawa terbang si namja melewati awan. Mungkin dia malaikat pencabut nyawa.” timpalku yang tiba-tiba teringat dengan operasi besok. Dan ucapanku ini membuat Min Yeong diam. “Wae?”
“Anio. Hanya saja aku tiba-tiba takut melihat lukisan ini. Malaikat pencabut nyawa...apa mereka benar-benar ada oppa? Apa akan terasa menakutkan jika pergi bersama mereka?”
“Akan aku tanyakan itu besok jika bertemu dengan mereka.” jawabku asal.
“Apa maksudmu oppa?” tanya Min Yeong penasaran, lebih tepatnya curiga.
“Anio. Ayo pergi ke tempat lain.”
Dari semua tempat yang ada di pameran ini, hanya tenda ramalan yang menarik perhatianku. Entah mungkin karena operasi besok, aku jadi penasaran. Dan Min Yeong menyadari itu.
“Oppa, sepertinya kau ingin pergi ke tenda ramalan itu, mau kesana?” tanya Min Yeong yang hanya aku balas dengan anggukan.
Kami pun pergi ke tenda ramalan itu. Bau aroma terapinya yang sangat kuat dan banyaknya pernak-pernik aneh sempat membuatku ingin keluar dari sana.
Entah siapa nama yeoja peramal ini, tapi yang pasti dia terlihat sudah berumur. Semenjak aku dan Min Yeong datang, dia terus memejamkan matanya. Tangannya sigap di atas benda bundar yang biasanya digunakan para peramal. Yang aku dengar, benda itu digunakan untuk melihat masa depan. Tapi aku tidak melihat apapun saat ini.
“Jeogiyo, ahjumma...”
“Masalahmu berat...” potong si peramal tiba-tiba. Entah pada siapa dia berbicara karena matanya masih saja tertutup. Aku dan Min Yeong saling berpandangan.
“Apa kau sudah mengucapkan selamat tinggal pada kekasihmu?” ucap si peramal lagi. Sekarang aku tahu kepada siapa dia berbicara. Tentu saja, aku.
“Belumkah? Apa kau ingin membuatnya lebih terpuruk dari sekarang? Jangan lupa, ini adalah hari terakhirmu...”
Ini bukan jawaban yang kuinginkan. Apa dia benar-benar seorang peramal? Sekarang aku mulai meragukan kemampuan peramal ini...
Mendengar ucapan si peramal, Min Yeong mulai gelisah. “Bisakah kau mengatakan yang lain, ahjumma? Aku dan Jaejoong oppa kesini untuk mendengarkan sesuatu yang menggem...”
“Kau yang menciptakan kematianmu sendiri,” potong si peramal, “kau yang menginginkannya. Kau mengharapkan kesembuhan, tapi tidak bisa. Kau mengorbankan nyawamu untuk...”
BRAKKK!!!
Aku menggebrak meja si peramal dan membuat beberapa benda di atasnya bergetar. Aku sudah tidak tahan mendengar ocehannya. Semua yang ia bicarakan adalah tentang kematianku. Menyebalkan! Tidak bisakah aku berharap untuk sembuh?!
Aku pun menarik lengan Min Yeong dengan cepat, membuat dia sedikit meringis kesakitan. “Min Yeong, ayo kita pulang!”
---
Sepertinya Min Yeong tertarik sekali dengan ramalan si peramal tadi. Dia sempat memarahiku karena tiba-tiba menariknya keluar. Dia terus-terus memukul lenganku dan berkata ‘Waeyo oppa? Aku masih ingin mendengar ramalannya!’. Tapi rengekan itu langsung hilang saat aku mengajaknya ke taman bermain.
Entah apa yang membuat dia kekanak-kanakan dan manja hari ini. Dia tidak bersikap dewasa seperti biasanya, tapi aku menyukainya. Setidaknya aku masih bisa melihatnya hari ini. Melihatnya tersenyum dan tertawa saja sudah cukup untukku. Yah tentu saja sebelum senyum dan tawa itu berubah menjadi tangis yang memilukan.
Tapi intinya, aku sangat menikmati hari ini. Sudah lama aku tidak bersenang-senang seperti ini dengan Min Yeong. Di taman bermain, aku dan Min Yeong mencoba menaiki semua wahana permainan yang ada, tentu saja itu karena Min Yeong yang menginginkannya. Dan selama itu pula, tangannya tidak pernah lepas dari genggamanku. Aku sempat khawatir saat Min Yeong merasa sakit perut. Wajahnya pucat sekali. Tapi dia mengatakan bahwa itu akibat kimchi pedas yang ia makan di Pasar Dongson tadi.
Kami baru selesai sekitar pukul 6 sore. Dan Min Yeong memaksa ikut pulang ke apartementku karena dia meninggalkan jam tangannya disana walaupun aku sudah mengatakan akan mengantarkannya pulang dan mengembalikan jam tangannya besok. Meskipun aku tak tahu apakah besok masih bisa bertemu dengannya...
Tidak ada yang dilakukan Min Yeong selain membawa jam tangannya di rumahku, setelah itu dia pulang. Tentu saja aku mengantarnya sampai pemberhentian bus yang lokasinya sekitar 100 meter dari apartement. Entah mungkin karena sudah pukul 7 malam, tak ada satupun orang yang menunggu di pemberhentian.
Sebenarnya, sendi-sendi tulangku terasa sakit semua hari ini. Ah tidak, setiap hari semua sendi-sendi tulangku terasa sakit. Suhu badanku pun bertambah tinggi. Belum lagi aku merasa tidak enak badan. Tapi semua itu sedikit berkurang dengan kehadiran Min Yeong. Dia mampu mengalihkan rasa sakitku. Bahkan sampai malam ini.
“Min Yeong-a, gomaweo~” ucapku saat kami duduk di kursi halte menunggu kedatangan bus.
“Terima kasih untuk apa?” tanyanya heran.
“Terima kasih karena kau telah menemaniku bersenang-senang hari ini.”
Mendengar itu, Min Yeong tersenyum hangat, “Seharusnya aku yang berterima kasih oppa. Aku yang memintamu menemaniku hari ini.” jawabnya. Aku hanya tersenyum mendengarnya.
Aku sangat sedih memikirkan hari esok dimana aku belum bisa dipastikan akan bertemu lagi dengan Min Yeong. Aku tidak ingin membuatnya sedih hanya karena kematianku. Siapa yang akan menemaninya jika aku tidak ada? Orang tuanya? Mereka sudah lebih dulu pergi ke dunia sana. Saudara-saudaranya? Dia hanya memiliki paman yang tinggal jauh darinya. Sahabat-sahabatnya? Setahuku yang sering bersamanya hanya Shin Ri, teman sekampusnya.
Entahlah, walaupun Dokter Yong mengatakan kemungkinannya 50%, aku tidak terlalu yakin dengan hasilnya. Aku merasa ini benar-benar hari terakhirku.
“Min Yeong-a, saranghae~” ucapku tiba-tiba dan membuatnya diam selama beberapa saat. Tapi kemudian dia menangis. Tangisan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Tangisan yang terlihat sangat menyakitkan. “Waeyo? Ullijima~”
“Nado saranghae, oppa. Hajiman...”
“Wae?”
“Saat mendengarmu mengatakan itu, aku ingin menangis.” ucapnya. Aku pun merangkulnya ke dalam pelukanku dan membiarkannya menangis. Aku tahu mungkin dia berfirasat bahwa tidak ada hari esok untuk bertemu denganku. Dan aku sangat sedih memikirkan hal itu.
“Oppa, kau mau berjanji padaku?” tanyanya tiba-tiba.
“Apa?”
“Aku ingin kau hidup bahagia denganku selamanya, tidak peduli dimana pun kita berada. Kau sanggup memenuhinya?” dia menatapku dengan tatapan penuh arti. Mata hitamnya itu mencari sebuah kepastian di dalam mataku.
“Tentu saja. Kita akan bahagia selamanya, terutama kau. Dan aku akan selalu mencintaimu, selamanya.”
“Nado. Tiga tahun itu bukanlah waktu yang pendek. Dalam waktu tiga tahunlah aku bisa merasakan apa yang namanya cinta. Terima kasih untuk semuanya oppa.”
“Terima kasih juga.”
Lalu tak lama sebuah bus datang dan berhenti tepat di depan halte tempat kami berdua duduk. “Min Yeong-a, bus-nya sudah datang, sebaiknya kau cepat naik.”
“Ne. Aku pulang oppa, ddo mannayo.” ucap Min Yeong lalu memelukku erat, seperti tidak ingin melepaskanku. Sama seperti aku yang tidak ingin melepaskannya. Ini benar-benar terlihat seperti perpisahan.
“Ne, ddo mannayo. Jaga dirimu baik-baik.”
Min Yeong pun pergi menaiki bus. Tapi sebelum pintu bus tertutup, Min Yeong menoleh padaku dan berkata, “Aku akan selalu berada di sampingmu, oppa.”
Aku belum sempat menjawabnya karena pintu bus sudah tertutup rapat dan bus sudah mulai berjalan pergi. Aku pun hanya bisa melambaikan tangan padanya dari luar bus.
Jaga dirimu baik-baik, Min Yeong-a. Aku akan berjuang menjalani operasi besok agar aku bisa bertemu lagi denganmu...
Jaejoong’s POV End
---
Min Yeong’s POV
Hari ini terjadi begitu saja. Kau terlihat tidak sehat hari ini, oppa. Maaf aku memintamu menemaniku hari ini. Tapi aku benar-benar ingin menghabiskan waktu denganmu.
Apa malam ini kau akan baik-baik saja? Tubuhmu terasa panas. Tapi aku tahu kau namja yang kuat. Jaga dirimu baik-baik oppa.
Aku melihatnya melambai dari luar bus. Aku pun hanya membalasnya dengan sebuah senyuman. Senyuman terindah yang pernah kumiliki.
Dan sosoknya semakin menghilang dari mataku.
Semakin jauh...
Jauh...
Dan jauh...
Tanpa kusadari air mataku jatuh begitu saja. Entah mengapa hari ini aku merasa sangat sedih, hatiku terasa pedih. Padahal seharusnya aku senang telah menghabiskan waktu dengan Jaejoong oppa seharian ini.
Oppa, aku benar-benar akan selalu berada di sampingmu, untuk melihatmu tersenyum atau tertawa. Oppa, saranghae~
Min Yeong’s POV End
---
Jaejoong’s POV
Pagi ini, sesampainya di rumah sakit, aku langsung menyerahkan data yang diberikan Dokter Yong pada petugas resepsionis dan menemuinya di ruang kerja.
“Bisa kita mulai sekarang?” tanya Dokter Yong setelah sekali lagi dia memeriksa kondisiku.
“Ne.”
“Anda benar-benar siap menerima resikonya kan? Kelainan di tulang rusuk anda tidak bisa membuat keberhasilannya menjadi 80%.” jelasnya lagi.
“Saya benar-benar sudah siap.” jawabku tegas sekali lagi.
Dokter Yong menatapku sebentar. Entah itu tatapan haru, kasihan, atau kagum, aku tidak bisa membedakannya saat ini. Lalu ia beranjak dari kursinya dan berkata, “Mari kita lakukan.”
Tapi sebelum itu, aku menghentikan langkahnya. Bukan karena aku akan membatalkan operasinya dengan tiba-tiba, tapi untuk menitipkan surat padanya.
Dokter Yong heran melihat surat yang kupegang. Mungkin ia mengira ini uang karena isinya yang cukup tebal. Tapi ini bukan uang, melainkan sebuah surat perpisahan untuk Min Yeong.
“Ini adalah surat untuk kekasihku. Bisakah anda memberikannya jika operasi ini gagal? Alamatnya tertera di dalam surat. Tapi saya harap anda tidak tertarik untuk membaca isinya...” pintaku.
“Baiklah.” jawab Dokter Yong.
Surat itu, aku membuatnya tadi malam. Tentu saja isinya menjelaskan tentang semuanya. Walaupun ada kemungkinan berhasil 50%, tapi aku tetap tidak ingin memberitahu Min Yeong tentang masalah ini secara langsung. Dia pasti akan melarang keras aku untuk menjalankan operasi ini. Dia akan menangis seharian dan diam di sampingku sepanjang hari, lalu menyesali dirinya sendiri dengan alasan yang tidak jelas. Itu tentu saja akan membuatku semakin terpuruk.
Di ruang operasi, segalanya telah siap. Beberapa orang petugas operasi langsung membantuku menyiapkan segalanya yang aku butuhkan.
Dan saat tiba waktunya operasi itu dijalankan, Dokter Yong menyuntikan obat bius padaku. Dan tanpa menunggu waktu yang lama, semuanya berubah menjadi gelap...
Gelap...
Dan gelap...
Apakah kegelapan ini akan berlangsung selamanya? Akankah aku bertemu malaikat pencabut nyawa setelah ini? Molla...
Sebelum aku benar-benar hilang kesadaran, terbayang wajah Min Yeong yang sedang tersenyum kepadaku...
Jaejoong’s POV End
---
Author’s POV
Sinar matahari siang hari begitu menyilaukan. Dan ini tentu saja membuat Jaejoong terpaksa membuka matanya.
Hal yang pertama kali terpikirkan olehnya adalah, ‘Dimana ini?’, ‘Apa aku sudah mati?’, ‘Mengapa ruangan ini terlihat begitu asing?’. Dan semua itu terjawab saat seorang suster masuk ke dalam kamar.
“Selamat siang Tuan Kim. Saya akan memeriksa tekanan darah anda.”
Selain memeriksa tekanan darahnya, suster itu juga menyebutkan beberapa makanan yang tidak boleh ia makan. Jaejoong hanya bisa diam mendengar sang suster berbicara padanya. Bukan karena dia tidak mau, melainkan karena dia tidak ingin. Dia merasa sangat lemas sekarang.
Satu yang membuatnya sangat lega. Operasinya berjalan dengan sukses, dan itu berarti dia masih hidup.
Akhirnya ia masih bisa bertemu lagi dengan Min Yeong dan teman-temannya, termasuk Yoochun. Dia berjanji akan menjelaskan semuanya kepada mereka jika sudah tiba saatnya. Dan itu berarti sekitar 5 hari lagi setelah Jaejoong keluar dari rumah sakit. Dia tidak mau bertemu dengan mereka dalam keadaan lemah seperti itu. Lebih tepatnya, dia tidak ingin mengkhawatirkan orang lain.
Tak lama setelah suster tadi keluar, Dokter Yong datang. Jaejoong pun tersenyum senang melihatnya.
“Bagaimana keadaan anda Tuan Kim? Merasa lebih baik?” tanya Dokter Yong yang duduk di tepi tempat tidur.
“Ne. Saya sangat berterima kasih pada dokter dan yang lainnya. Tanpa kalian mungkin saya tidak akan bisa membuka mata lagi seperti sekarang ini.” ucap Jaejoong sopan. Ia merasa ucapan terima kasih saja tidak cukup untuk membalas jasa Dokter Yong.
“Saya sudah mengatakan akan mengusahakannya semaksimal mungkin. Bagaimana pun juga, nyawa anda sangatlah berharga.
"Dan seperti yang saya katakan sebelumnya, tulang rusuk anda memiliki kelainan. Dan itu membuat kinerja sumsum tulang anda kurang maksimal. Jadi saya sarankan anda datang ke rumah sakit sebulan sekali untuk melakukan pemeriksaan.” jelas Dokter Yong.
“Baiklah. Ehm...kalau begitu, apakah sekarang anda bisa memberitahu siapa yang telah mendonorkan sumsum tulangnya untuk saya?”
Dokter Yong tampak diam sejenak. Dia menatap Jaejoong dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan.
“Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, pendonor sumsum tulang anda adalah seorang penderita kanker hati stadium akhir. Dia lebih memilih mendonorkan sumsum tulangnya daripada melakukan operasi yang kemungkinan berhasilnya hanya 40%.”
“Namja atau yeoja?”
“Yeoja.” jawab Dokter Yong singkat.
“Siapa namanya?” tanya Jaejoong lagi.
“Min Yeong. Nama lengkapnya Son Min Yeong.”
“.....”
Author’s POV End
Jaejoong’s POV
Aku tertegun mendengar ucapan Dokter Yong. Apa Dokter Yong baru saja menyebutkan nama yeojachingu-ku?
Aku akhirnya tertawa getir. “Namanya sangat mirip dengan nama kekasih saya. Tapi orang yang anda maksud pasti bukan dia.” ucapku dengan perasaan getir. Takut bahwa yang dikatakan Dokter Yong bukanlah apa yang aku harapkan.
“Saya tidak tahu apakah benar dia kekasih anda atau bukan. Tapi yang pasti dia sendiri yang mengatakan bahwa dia adalah kekasih anda. Dia begitu senang saat tahu bahwa sumsum tulangnya sangat cocok dengan anda dan dia langsung meminta saya untuk mendonorkan sumsum tulangnya pada anda secepatnya.” jelas Dokter Yong, tapi aku hanya diam. Aku tidak mengerti apa yang Dokter Yong katakan. Lebih tepatnya, aku tidak ingin mengerti.
“Mungkin ini sangat mengejutkan untuk anda. Saya akan meninggalkan anda agar anda bisa berpikir dengan jernih.” lalu Dokter Yong beranjak dari tempat tidurku dan pergi. Pergi meninggalkanku yang masih diam dengan perasaan getir.
Sebelum Dokter Yong mencapai pintu, dia berbalik padaku, “Saya melupakan sesuatu. Ada yang harus saya kembalikan pada anda.” ucapnya sambil mengeluarkan sebuah surat yang kutitipkan padanya tadi pagi dari saku jas putih yang ia pakai. “Dan satu lagi...” ia mengeluarkan sesuatu yang lain dari jas putihnya, sebuah surat lagi. Tapi yang ini berwarna merah gelap. “Ini adalah titipan dari kekasih anda, Son Min Yeong. Dia menitipkannya pada saya dan meminta saya memberikan ini setelah anda selesai melakukan operasi, tepatnya setelah dia meninggal.”
Dokter Yong memberikan dua surat itu padaku lalu beranjak pergi. Jujur saja, ini membuat pikiranku kusut seperti ada banyak benang yang membelit di dalamnya. Dengan tangan bergetar, aku pun membuka surat yang berwarna merah gelap itu dan mulai membacanya...
Aku membaca ulang surat itu hingga tiga kali dan akhirnya aku menjatuhkan air mata. Ya, aku menangis. Siapapun akan menangis jika mengalami hal seperti ini.
“Min Yeong bodoh...kenapa kau rela mengorbankan nyawamu demi aku? Tidak bisakah kau membiarkanku mati agar aku bisa menemanimu disana? Bagaimana aku bisa hidup bahagia jika kau tidak ada disisiku? Bagaimana bisa??!
“Tiga tahun aku menjalin cinta denganmu, tiga tahun aku merasa hidup dengan kehadiranmu, tiga tahun aku merasakan bahagia denganmu. Tapi sekarang apa? Kau pergi begitu saja dengan alasan demi kesembuhanku. Kau tega membiarkanku kesepian lagi? Aku mencintai-mu Min Yeong-a...sangat mencintaimu...kau tahu itu kan??! Aku tidak akan pernah bisa hidup bahagia tanpamu Min Yeong-a, tidak akan pernah!
“Kau jahat Min Yeong-a...kau JAHHAATTT...!!!!!!!” aku berteriak dan menangis sekencang-kencangnya seperti orang gila. Yang aku tahu berikutnya, beberapa orang suster masuk ke kamarku setengah berlari. Dan kemuadian, semuanya berubah menjadi gelap.
Jaejoong’s POV End
---
Author’s POV
“Aku akan menunggu di mobil. Telepon aku kalau sudah selesai.” Yoochun pun meninggalkan Jaejoong sendirian di depan tempat peristirahatan terakhir Min Yeong, kekasihnya.
Sebenarnya Jaejoong baru saja keluar dari rumah sakit pagi ini, tapi dia memaksa Yoochun untuk mengantarnya ke makam Min Yeong.
Jaejoong duduk di hadapan makam kekasihnya itu dan menyimpan karangan bunga yang tadi sempat ia beli di toko.
“Min Yeong-a...terima kasih atas segalanya.” dan ia pun mulai mengeluarkan air matanya lagi. Padahal sebelum keluar dari rumah sakit ia berjanji tidak akan menangis di hadapan makam kekasihnya.
“Aku sadar, seberapa banyak pun aku menangis, itu tidak akan membuatmu kembali. Tapi biarkanlah air mata ini mengalir untuk mengenangmu. Atas segala yang telah kau berikan untukku, atas segala hal yang telah kau perbuat padaku. Tiga tahun terakhir ini adalah tiga tahun yang penuh cinta untukku. Tentu saja itu karena kehadiranmu.
“Selama dua hari terakhir ini, aku sudah memikirkan segalanya. Aku akan berusaha menepati janji kita. Jika kau sudah bahagia disana, maka aku juga akan berusaha bahagia disini. Aku juga akan berusaha untuk tidak menyesali ini, itu karena kau yang meminta. Dan aku juga tidak akan pernah melupakanmu. Sampai kapan pun itu, kau tidak akan pernah bisa hilang dari ingatanku. Kau bukanlah kenangan yang bisa terhapus dengan mudahnya. Lagipula, bagaimana aku bisa melupakanmu jika sebagian dari dirimu tinggal di dalam diriku?
“Min Yeong-a, terima kasih kau sudah menyelamatkan hidupku. Kau wanita kuat dan luar biasa yang pernah aku temui. Maaf jika selama ini aku pernah menyakitimu atau membuatmu menangis. Kau tahu sendiri aku hanyalah manusia biasa. Dan maaf aku tidak bisa menyadari bahwa kau sedang sakit parah. Itu satu-satunya cerita yang aku tidak tahu darimu.
“Sebenarnya banyak yang ingin kubicarakan denganmu, tapi sepertinya sekarang tidak bisa. Jika nanti kita bertemu di duniamu, aku akan menceritakan segalanya padamu. Aku tidak bisa lama-lama disini, aku harus pergi. Kau beruntung mendapatkan tempat di bukit ini. Disini pemandangannya indah sekali, kau pasti menyukainya kan?
“Baiklah, aku harus pergi sekarang. Jaga dirimu baik-baik, dan...tetaplah berada disisiku. Saranghae...”
Jaejoong pun beranjak pergi. Tapi sebelum itu, ia menatap langit sekilas dan melihat wajah Min Yeong yang sedang tersenyum bahagia padanya.
---
A pleasant goodbye, ultimately there can be no such thing
If I had known, I would have cried it all out then
That I was already a part of your ending was, at that time,
a story only I didn't know
(A Story Only I Didn’t Know – IU)
---
THE END
Eonnie ceritanya bagus, sampai aku meneteskan air mat :'( kenapa min yeong harus mati? :'(
BalasHapusKenapa ya?? Kasih tau gak ya?? Enggak aja deh..hehe*justkidding*
HapusKan gak seru kalo authornya yang mati[eh?amit2><]