Jumat, 05 Agustus 2011

I Like You The Best (Oneshot)

-Title :
I Like You The Best
-Author :
Fani Yunisa
-Main Cast :
Lee GiKwang (B2ST/BEAST)
Fani Yunisa (Author *narsis*)
-Support Cast :
Yang YoSeob (B2ST/BEAST)
Yoon DooJoon (B2ST/BEAST)
Jang HyunSeung (B2ST/BEAST)
Yong JunHyung (B2ST/BEAST)
Son DongWoon (B2ST/BEAST)
-Length :
Oneshot
-Genre :
Romantic
-Rating :
PG
---

“CUBE ENTERTAINMENT MEMBERIKAN WAKTU LIBUR PADA ARTIS-ARTISNYA”

Itulah salah satu headline surat kabar yang sedang kubaca. Aku membaca dengan teliti setiap baris dari berita itu. Mataku terhenti pada kalimat yang bertuliskan “Managemen memberikan waktu libur selama dua bulan bagi para artisnya, walaupun tidak semua artisnya mendapat jatah libur ini, seperti HyunAh (4Minute), Yong JunHyung (BEAST), dan Yang YoSeob (BEAST).”
Cih, apanya yang dua bulan? Mereka hanya memberikan libur selama satu bulan. Sisanya harus kembali ke asrama untuk persiapan promosi album BEAST. Kasihan JunHyung hyung dan YoSeob, jadwal mereka padat sekali. Untung saja pembuatan album soloku ‘First Episode A New Hero’ sudah selesai. Kalau tidak, mungkin sekarang aku tak akan bisa menikmati secangkir kopi sambil membaca koran di teras rumah seperti ini.
Tiba-tiba terdengar suara ringtone handphone-ku berdering, tanda ada yang menelepon. Kulihat nama yang tertera di layar, dan muncullah nama ‘YoSeob/Sobbie’.
“Yobboseo?.” jawabku mengangkat telepon.
“Ah, Kwangie...” jawabnya pelan dan tak bersemangat.
“Ada apa? Kau baik-baik saja?”
“Aku ingin jatah liburkuuuu...!!!!” ia tiba-tiba berteriak.
“Ya! Jangan berteriak, kupingku bisa tuli nih. Dimana kau sekarang?”
“Aku sedang latihan untuk perform besok, tapi sedang istirahat. Haahhh...aku capek. Kau dimana Kwangie? Masih di rumah bumonim-mu?” tanyanya.
“Tentu saja, aku akan menghabiskan ‘liburku’ di sini.” Aku menekankan kata ‘libur’ untuk membuatnya iri.
“Aish...jangan membuatku iri, awas kau ya! Kau akan lebih sibuk dariku nanti ketika promosi album solomu.”
“Hahaha...oh iya, kau latihan bersama JunHyung hyung?”
“Anio, hari ini ia sedang perform dengan HyunAh. Aku latihan hanya sendiri di sini, ya dengan pelatih tentunya. Ternyata latihan tanpa yang lain sangat membosankan. Kwangie, kapan-kapan ajak aku ke rumah bumonim-mu ya. Sepertinya di desa bumonim-mu sangat menyenangkan.”
“Ne, tentu saja. Nanti kalau kita ada waktu, aku akan mengajakmu menginap di rumah bumonim-ku.”
“Asyik-asyik. Ah Kwangie, gunakan kesempatan liburmu itu baik-baik ya!”
“Maksudmu?” tanyaku heran.
“Yah kau kan belum punya yeojachingu, jadi kau harus menggunakan waktu liburmu itu untuk, ehem, mencari yeojachingu, hihi.” ia tertawa nakal.
“Ya! Aku tak akan mencari yeojachingu. Mana ada waktu buat pacaran, kan kasian kalau yeojachingu-ku nantinya ditelantarkan. Dasar kau ini...”
“Hahaha...itu sih terserah kau Ace Junior. Ooh, pelatih sudah kembali, sudah ya aku tutup teleponnya. Kapan-kapan aku hubungi lagi. Selamat mencari yeojachingu AJ, hahaha...”
“Ya! Sobbie...!” ia menutup teleponnya sambil tertawa tanpa membiarkan aku berbicara lagi. Ah, dasar Sobbie tukang jahil.
Di dalam rumah tidak ada siapa-siapa. Eomma dan appa sedang pergi ke pasar. Sepi sekali di sini. Maklum ini di desa, setiap pagi aku hanya melihat beberapa petani yang mengendarai sepeda menuju sawah dan beberapa pedagang sayur keliling. Kulihat jam di tanganku sudah menunjukan pukul tiga sore. Ah, aku akan pergi ke sana lagi. Aku bergegas mengunci pintu dan menitipkan kuncinya pada tetangga, yang kebetulan sedang berada di rumah.
Semenjak pulang ke rumah orang tuaku, tepatnya seminggu yang lalu, tiap hari aku datang ketempat ini. Ya, bangku halte bus yang ada di pinggir jalan, berhadapan dengan sawah. Halte ini sudah tidak digunakan lagi karena jalur bus dipindahkan ke jalan lain. Mungkin karena jarangnya penumpang yang naik-turun di desa ini dan juga jarak dari halte ke rumah-rumah penduduk yang lumayan jauh. Bangku ini sebenarnya masih kokoh, hanya saja catnya ada yang sudah mengelupas karena mungkin sudah tak diurus. Begitu duduk, aku langsung melihat pemandangan sawah dan gunung Hinsaek yang indah. Aku tak mengerti mengapa gunung itu diberi nama Hinsaek (puith), karena tak ada satu pun dari bagian gunung itu yang berwarna putih.
Sedang asyik-asyiknya menikmati pemandangan musim semi yang indah dan merasakan segarnya udara sore, seorang yeoja berambut pendek sebahu datang dari arah timur. Dengan tubuh berlapis sweater, ia duduk disampingku, tepatnya sih setengah meter di sampingku. Sebelum duduk, kami sempat bertemu mata. Tapi sepertinya tak ada kesan kaget di wajahnya, malah wajahnya tanpa ekspresi. Siapa yeoja ini? Aku merasa terganggu dengan kedatangannya. Apa dia fans-ku? Jangan-jangan dia mau minta tanda tangan dan fotoku. Tak apalah, hanya seorang ini. Lagian aku tak akan mempedulikannya.
Beberapa menit berlalu dan yeoja ini tetap saja diam. Aku meliriknya beberapa kali lewat ujung mataku. Matanya hanya tertuju pada gunung Hinsaek. Bahkan ia tak pernah melihat ke arahku. Dia kenal aku tidak sih? Kok sepertinya dia biasa saja ketika melihatku. Ah, aku tak ingin memikirkannya. Bukan urusanku kalau dia tak kenal padaku. Kulihat jam di tanganku sudah menunjukan pukul lima sore. Yeoja ini tiba-tiba bangkit dan berjalan pulang ke arah timur. Mungkin rumahnya ada di pemukiman sebelah timur. Yang dilakukan yeoja itu di sini sama denganku, hanya duduk terdiam dan menikmati pemandangan. Mungkin benar dugaanku bahwa ia tak mengenaliku. Mungkin saja ia yeoja miskin yang tidak memiliki televisi di rumahnya dan tidak pernah membaca majalah atau membuka internet, makanya ia tak kenal padaku. Ah...sebaiknya aku pulang, hari sudah terlalu sore. Eomma dan appa pasti sudah pulang.

Esoknya, aku kembali lagi ke tempat itu pada pukul tiga sore. Seperti biasa, aku hanya diam dan menikmati pemandangan di sekitar. Lalu tak lama, aku melihat yeoja itu datang lagi dan duduk di bangku halte. Masih sama seperti kemarin, ia hanya diam dan memandangi gunung Hinsaek. Siapa sih dia? Walaupun aku tinggal di pemukiman sebelah barat dan tidak dekat dengan orang-orang di pemukiman sebelah timur, setidaknya aku tahu wajah-wajah orang yang tinggal di pemukiman sana. Tapi yeoja yang satu ini, seumur hidup aku tak pernah melihatnya. Apa dia warga baru? Apa sebaiknya aku tanyakan saja? Tapi aku mengurungkan niat itu karena ia tiba-tiba bertanya padaku.
“Maaf, apa nama gunung itu?” tanyanya dengan ekspresi datar. Jari telunjuknya mengarah pada gunung Hinsaek.
“Gunung Hinsaek.” jawabku heran. Masa dia tak tahu nama gunung itu? Aku malah semakin penasaran pada yeoja ini.
“Oh...”
“Siapa namamu?”
“Fani Yunisa.” jawabnya singkat.
“Funny?” (dibaca: Fani, dalam bahasa Inggris artinya lucu)
“Aku tau maksudmu, tapi namaku dieja ef ei en ai.”
“Oh...kau tak punya marga ya?” tanyaku heran karena mendengar namanya yang tak ber-marga. Namanya juga agak tak umum, karena jarang orang Korea yang bernama Fani.
“Maaf aku tak mengerti hal-hal seperti itu karena aku bukan warga asli Korea.” ekspresi wajahnya tetap datar.
“Bukan warga asli Korea? Jadi kau warga pindahan?” aku sedikit kaget mendengarnya.
“Ne. Aku pindahan dari Indonesia, baru saja pindah ke sini kemarin lusa.”
“Oh, pantas saja aku tidak pernah melihatmu di daerah sini.” terjawab sudah pertanyaan-pertanyaan yang sempat melintas di pikiranku. Ternyata dia memang bukan warga sini. Menurutku bahasa Korea-nya tidak terlalu buruk. Hmm...apa di Indonesia ia tak pernah mendengar nama boyband-ku, BEAST? Setahuku, di indonesia juga ada fansitenya, kalau tidak salah namanya B2STIndonesia. Atau mungkin ia sedikit ‘kampungan’?
“Siapa namamu?” tanyanya tiba-tiba.
“Eh, panggil saja aku AJ.” aku tak tahu kenapa aku mengenalkan diriku dengan nama AJ, nickname-ku. Padahal kan namaku Lee GiKwang. Aku hanya merasa lebih baik mengenalkan diriku dengan nama AJ padanya.
“Hanya ‘AJ’?”
“Ne, hanya AJ. Boleh aku bertanya?”
“Ne, doemnida.”
“Kenapa kau pindah ke sini, maksudku ke Korea?”
“Ayahku dipindah kerjakan ke Seoul.” jawabnya singkat
“Lalu, kenapa kau tidak mencari rumah di kota?”
“Rumah-rumah di kota terlalu mahal, jadi kami membeli rumah di desa ini.”
“Oh...begitu. Dan...apa yang kau tau tentang Korea?” aku penasaran apakah ia tahu tentang boyband-ku.
“Entahlah, yang aku tau tentang Korea hanya Kimchi, negeri ginseng, kota Seoul dan....” ia berusaha mengingat-ngingat dan akhirnya, “Ah iya...boyband Super Junior.”
“Hanya itukah yang kau tau? Apa kau tidak suka menonton tv atau majalah remaja? Pernahkah kau menggunakan internet?”
“Anio, sebagian barang-barangku masih ada di Indonesia, termasuk tv. Dan aku tidak suka membuang-buang uang hanya untuk membeli majalah, yah kecuali surat kabar, tapi aku juga tidak tau dimana harus membelinya disini. Internet? Komputer saja aku tidak punya. Sebenarnya aku ini sedikit gaptek.” jelasnya.
“Oh pantas...” aku sedikit kecewa karena ia tak tahu tentang boyband-ku. Padahal di Korea, Jepang, Singapura, dan negara lain di Asia, boyband-ku sangat terkenal.
Aku terdiam sesaat dan kembali bertanya, “Lalu bagaimana kesan pertamamu tinggal di sini? Apakah menyenangkan atau malah sebaliknya?” tanyaku, berusaha ramah.
“Mm, aku merasa sedikit...lebih nyaman. Lagian, daerah seperti inilah yang aku suka. Ada sawah, gunung, dan halte bus yang sudah tidak terpakai. Menurutku ini hampir sempurna.” senyum manis akhirnya terkembang di wajahnya yang sedari tadi tak berekspresi. Manis dan cantik. Itulah kesan yang pertama kali aku dapatkan ketika melihatnya tersenyum. Kecantikannya terlihat alami. Berbeda dengan yeoja-yeoja di Seoul yang kebanyakan melakukan operasi plastik agar terlihat cantik. Dia memang orang Indonesia, tapi wajahnya tak jauh berbeda dengan yeoja-yeoja Korea.
“Dimana rumahmu?” sekarang gilirannya bertanya padaku.
“Di pemukiman barat, sekitar 200 meter dari sini.” aku mengangkat jari telunjukku ke arah kiri.
“Oh. Kelas berapa kau? Atau sudah kuliah?”
“Kuliah, kau sendiri?”
“SMA kelas 3.” jawabnya.
“Apa kau sudah menemukan SMA yang kau inginkan di sini?”
“Sudah, aku lupa namanya tapi sekolah itu berada di pemukiman sebelah timur, tak jauh dari rumah.”
“Oh...” jawabku singkat. Aku tahu SMA itu, karena aku pernah bersekolah di sana tentunya.
Kami kembali diam dan bersama-sama menikmati indahnya pemandangan. Sampai akhirnya aku melihat jam tangan sudah menunjukan pukul lima sore. Aku melihatnya bagkit dari bangku halte dan pamit pulang padaku.
“Hari sudah sore. Aku pulang duluan ya. Annyeong kyeseyo.” ia membungkuk kecil padaku. Sopan sekali dia, padahal aku hanya melakukan itu pada orang yang umurnya jauh lebih tua dariku.
“Oh, Arasseo. Annyeong kaseyo.” Setelah ia menghilang dari pandanganku, aku pun pulang ke rumah.

Selama hampir seminggu ini kami menghabiskan waktu sore bersama di bangku halte. Kebiasaan kami yang pertama adalah mengobrol, yah walaupun hanya sebentar. Dan sisanya kami habiskan dengan saling berdiam diri sambil menikmati pemandangan sampai waktunya pulang. Yah, menikamati pemandangan bersamanya memang hal yang paling menyenangkan bagiku. Ia bukanlah yeoja yang membosankan, menurutku. Ia tidak cerewet seperti YoSeob dan juga tidak pendiam seperti HyunSeung. Sepertinya ia tahu kapan saatnya aku membutuhkan ketenangan dan saat aku membutuhkan sebuah pembicaraan. Aku belum pernah menemukan yeoja ‘menarik’ seperti dia. Sudah lebih dari seminggu ia belum juga mengetahui siapa diriku yang sebenarnya. Entah mengapa aku juga tak ingin membongkar identitasku padanya. Bisa dibilang aku ingin dia mengetahuinya sendiri.
Setiap hari aku menunggu kedatangannya di halte bus. Mengapa aku selalu menunggu kedatangannya? Entahlah. Aku selalu datang terlebih dahulu. Dan begitu juga dengan hari ini.
“Annyeong oppa.” ia duduk di sampingku dan tersenyum hangat padaku. Aku pun membalas senyumannya. Belakangan ini ia memanggilku dengan sebutan ‘oppa’.
“Annyeong. Bagaimana sekolahmu hari ini?” tanyaku membuka pembicaraan.
“Hmm...cukup menyenangkan. Hanya saja aku sedikit mendapat kesulitan ketika guru Fisika-ku memberikan ulangan mendadak.”
“Apa kau bisa mengerjakannya?”
“Ne. Oh iya oppa, apa oppa tau boyband yang bernama BEAST?” pertanyaan itu membuat jantungku berdetak sangat kencang dengan tiba-tiba. Apakah ia sudah tau tentangku?
“Wae?” aku balik bertanya tanpa menjawab pertanyaannya.
“Ah...anio. Hanya saja setengah dari yeoja-yeoja di kelasku suka dengan boyband itu. Aku belum pernah melihat personil-personilnya yang kata mereka seperti malaikat. Setiap hari mereka membicarakan tentang boyband itu dan setiap hari juga mereka menyanyikan lagunya yang berjudul...hmm, apa ya...” ia berusaha mengingatnya dan, “Oh iya, ‘Fiction’!”
“Kau suka lagunya?” aku semakin tertarik dengan topik pembicaraan kali ini.
“Ne, tapi aku lebih suka dengan lagunya yang berjudul ‘Let It Snow’. Aku suka irama dan makna dari lagu itu.” ia menutup matanya sambil menggumamkan sesuatu yang kedengarannya seperti sedang menyanyikan lagu ‘Let It Snow’. Polos sekali dia, padahal penyanyi aslinya sedang duduk di sampingnya.
“Kenapa kau suka dengan liriknya? Apa lirik lagunya sesuai dengan kisah cintamu?”
“Haha...anio. Aku tak tau apakah perkiraanku benar atau tidak, tapi menurutku lagu itu mengisahkan seorang namja yang menginginkan yeojachingu-nya kembali. Bisa dibilang namja itu sangat mencintai yeojachingu-nya. Aku tertarik dengan apa yang disebut ‘cinta setengah mati’. Aku pernah merasakannya. Yah walaupun cinta kebanyakan berakhir dengan rasa sakit hati. Apa oppa tau lagunya? Kalau tidak salah lagu itu dinyanyikan oleh kedua personil BEAST. Hmm...coba aku ingat...kalau tidak salah namanya Jang HyunSeung dan...” matanya terpejam sambil mengingat-ngingat, dan akhirnya, “Oh iya, Lee GiKwang! Suara mereka merdu bukan main.” ia memuji-muji laguku dan HyunSeung hyung. Hatiku sangat lega mengetahui bahwa dia menyukai laguku dan mengatakan bahwa suaraku merdu.
“Ne, aku tau. Aku juga sangat menyukainya.” aku tersenyum padanya. Pernah merasakan ‘cinta setengah mati’? Berarti dia sudah pernah berpacaran? Ingin kutanyakan hal itu, tapi sebaiknya aku mengurungkan niatku.
“Oppa tau? Di negara asalku, BEAST (dibaca : Bis) adalah nama kendaraan umum yang dulu pernah melewati halte ini, walaupun ejaannya berbeda.” aku melihatnya tertawa kecil, menertawakan nama boyband-ku.
“Oh ya? Tapi aku suka nama itu.” aku sedikit kesal mendengarnya berkata seperti itu.
“Siapa bilang aku membencinya? Aku juga menyukai nama itu, sangat menyukainya.” sepertinya ia tahu bahwa aku sedikit kesal mendengar nama boyband-ku ditertawakan. Tak lama, ia menutup matanya dan menghirup udara dalam-dalam, tanda bahwa ia tak ingin berbicara lagi. Tiba-tiba timbul perasaan takut dalam diriku. Apakah ia akan marah jika mengetahui yang sebenarnya? Apakah ia masih ingin bertemu denganku jika ia sudah mengetahui identitasku? Setahuku, yeoja-yeoja desa tidak suka jika kepercayaannya dikhianati. Apalagi yeoja-yeoja desa biasanya menghindari sesuatu yang akan membuat ketenangan hidupnya terganggu. Jika wartawan tahu tentang dia, bagaimana jadinya? Dan ternyata hal yang kutakutkan pun menjadi kenyataan ketika kami bertemu lagi keesokan harinya.
“Wae? Kau sedang ada masalah?” sudah hampir lima belas menit semenjak kedatangannya, dia terus diam memandang gunung Hinsaek dengan tatapan yang ‘sedikit tajam’.
“Aku tak tau siapa yang harus di salahkan dalam masalah ini.”
“Masalah apa?” aku bertanya sambil mengerutkan kening.
“Sekarang oppa malah berpura-pura tidak tau. Kenapa harus berbohong padaku? Ah anio anio, dari awal oppa memang tidak berbohong. Ini semua karena aku yang terlalu bodoh.”
“Jelaskan apa yang kau bicarakan.” tuntutku. Apakah ia sudah mengetahui semuanya?
“Apa aku harus menjelaskannya, Lee GiKwang oppa?” sekarang ia melihat ke arahku, masih dengan tatapannya yang ‘sedikit tajam’ itu.
“Jadi kau sudah tau semuanya?” aku tersenyum senang meskipun aku tak tahu apakah yang aku lakukan ini benar atau tidak.
“Kenapa oppa tersenyum? Sepertinya oppa puas telah membodohi yeoja desa yang bodoh sepertiku, iya kan? Selamat kau berhasil oppa.” ia tersenyum sinis padaku.
“Anio...aku tidak bermaksud seperti itu, aku hanya...”
“Hanya ingin mempermainkanku?” ia memotong pembicaraanku. “Aku mengerti, namja terkenal seperti oppa pasti jarang menemui yeoja bodoh dan kampungan seperti aku, iya kan?” ia masih menatapku dengan tatapan tajam.
“Tapi aku kan selama ini tidak pernah berbohong padamu. Aku tidak pernah mengatakan padamu kalau namaku Ji Hoon, Min Ho, atau Lee Teuk. Aku mengenalkan diriku padamu dengan nama AJ karena itu memang namaku walaupun hanya nickname. Aku juga tidak bilang padamu bahwa aku adalah salah satu personil BEAST karena kau tak pernah menanyakannya!” aku sedikit membentaknya karena kesal.
“Wae? Kenapa oppa melakukan itu?” kali ini ia bertanya tanpa menatapku.
“Aku takut tidak bisa dekat denganmu kalau kau tau aku seorang artis. Aku mengira bahwa kau adalah tipe yeoja yang tidak ingin berurusan dengan dunia artis. Kau tau sendiri kan jika aku dekat dengan seorang yeoja mungkin saja ada wartawan yang tau dan mempublikasikannya. Aku hanya tidak ingin kau menjauh hanya gara-gara itu. Itu semua karena aku mencintaimu!” ia kaget dengan apa yang kuucapkan. Aku berusaha meyakinkannya, karena aku berkata benar. Aku memang mencintainya. Ia diam sambil terus memandangiku, mencoba mencerna apa yang tadi aku katakan. Tapi kemudian ia mengalihkan matanya pada gunung Hinsaek.
“Aku tak tau apa yang oppa katakan itu benar atau tidak. Aku tak peduli. Mulai sekarang aku tak ingin menemui oppa lagi.” ia pergi meninggalkanku tanpa membungkuk kecil seperti biasanya. Ia berlari ke arah timur, ke pemukiman. Aku tak bisa mengejarnya karena tak kusangka larinya cepat sekali. Kenapa ia seperti itu? Aku kan sudah menjelaskan yang sebenarnya. Aku menyesali apa yang telah aku perbuat. Mengapa aku tidak jujur padanya dari awal? Mengapa aku takut kalau ia tak ingin dekat denganku jika ia tahu bahwa aku adalah seorang artis? Yah sekali lagi, itu karena aku mencintainya.

Sudah hampir seminggu aku tidak menemuinya. Ia tak lagi datang ke halte bus. Jujur aku sangat merindukannya. Aku ingin melihat wajahnya, mendengar ceritanya, dan menikmati pemandangan bersamanya. Seminggu ini aku hanya sendirian duduk di bangku halte. Sepi rasanya. Serasa ada bagian yang hilang dari diriku. Ingin aku pergi ke rumahnya, tapi sayang aku tak tahu di mana. Pemukiman sebelah timur cukup luas dan agak jauh jaraknya dari halte.
Minggu pagi adalah saat yang tepat untuk berjalan-jalan sekitar kampung. Dengan memakai celana training dan kaos putih polos, aku pamit pada eomma dan appa untuk pergi jalan-jalan.
Karena ini hari minggu, banyak anak-anak yang sedang bermain sepak bola di lapangan dekat rumah. Pagi-pagi begini sudah bermain sepak bola, berbeda sekali dengan anak-anak di kota yang setiap hari minggu bangun siang hari dan lebih memilih bermain PS dibandingkan berolahraga.
Ketika aku melewati sebuah warung kecil, ada beberapa yeoja di sana yang saling berbisik-bisik diiringin senyuman centil sambil melirikku. Seingatku mereka adalah adik kelasku ketika di SMA. Hmm...aku malah teringat Fani. Ia tidak mungkin melakukan apa yang yeoja-yeoja itu lakukan. Ia malah biasa saja ketika pertama kali melihatku. Dan aku suka yeoja seperti itu. Menurutku ia bukan tipe yeoja yang mencintai seorang namja karena harta, otak, atau kepopuleran. Melainkan tipe yeoja yang mencintai namja karena hati. Ah...aku ingin sekali bertemu dengannya. Baiklah, sekarang aku akan ke halte bus. Walaupun kemungkinannya kecil, tapi aku berharap sekali bisa bertemu dengannya.
Dan akhirnya harapanku terkabul! Dengan menggunakan kaos putih bertangan pendek dan rok cokelat panjang, ia duduk di bangku halte sendirian sambil menatap kosong gunung Hinsaek dan menyanyikan sebuah lagu. Sepertinya ia sedang menyanyikan lagu ‘Let It Snow’, terlihat dari gerak-gerik mulutnya. Aku pun berlari mendekatinya.
“Fani..!!” panggilku. Ia tersadar dan melihatku sudah berdiri di depannya. Sepertinya ia sedikit kaget.
“AJ op...” ia tidak melanjutkan kata-katanya dan langsung pergi meninggalkanku, tapi aku memegang tangannya.
“Jangan pergi. Tolong...aku tak ingin kau seperti ini. Jelaskan padaku mengapa kau tidak pernah menemuiku lagi selama seminggu ini!” aku masih memegang tangannya dan ia masih membelakangiku.
“Sudah jelas kan? Aku begini karena tau oppa adalah seorang artis. Lepaskan tanganku!” nada bicaranya sedikit di tinggikan.
“Aku tak akan memberitahu wartawan kalau aku sedang dekat denganmu! Aku hanya ingin terus dekat denganmu, aku mencintaimu!” aku meninggikan nada bicaraku dan masih memegang tangannya. Tak lama terdengar suara isak tangis.
“Bukan itu yang aku permasalahkan GiKwang oppa, bukan itu! Aku hanya tak mau kejadian itu terulang kembali...” ia berkata sambil menangis. Aku menariknya ke dalam pelukanku.
“Sudah jangan menangis. Ceritakan padaku apa masalahmu agar aku bisa mengerti.” aku duduk di bangku halte bersamanya. Aku mengusap rambutnya perlahan. Ia diam, berusaha menenangkan dirinya. Setelah beberapa saat terdiam, ia mulai bercerita padaku.
“Dulu, aku pernah berteman baik dengan seorang namja yang seumuran denganku. Namja itu tinggal di sebelah rumah. Kami dekat sekali, bahkan setiap hari kami selalu bermain bersama. Sampai ketika dua tahun yang lalu, ia yang masih kelas 1 SMA, ditawari oleh seorang produser untuk membintangi sebuah sinetron ketika kami sedang jalan-jalan di sebuah mall untuk pertama kalinya. Dengan semangat ia menerima tawaran itu karena memang ia bercita-cita menjadi seorang artis.
Sebulan setelah menjadi artis, ia memang masih dekat denganku walaupun tidak seperti dulu. Tapi lama-kelamaan, setelah ia semakin populer, jarak diantara kami semakin jauh walaupun rumah kami masih berdekatan. Bahkan ketika aku melihatnya sedang diwawancara di sebuah stasiun televisi, ia mengatakan tidak pernah dekat dengan yeoja manapun. Dan ia mengatakan belum pernah jatuh cinta pada seorang yeoja. Padahal aku masih ingat sekali ia pernah berkata bahwa ia mencintai dan menyayangiku, dan aku juga mengatakan hal yang sama padanya karena memang itu yang sedang kurasakan.
Aku berharap sekali ia masih mau dekat denganku, walau hanya sebatas teman. Tetapi dunia artis telah membuatnya tenggelam dalam kepopuleran. Bahkan aku pernah menghubunginya menggunakan handphone ayah. Dan coba oppa tebak apa yang ia katakan?” ia bertanya padaku. Ada sedikit ekspresi marah di wajahnya.
“Mwo? Molla...” jawabku yang memang tidak tahu.
“Ia berkata, ‘Jangan menghubungiku lagi. Aku tak ingin berteman dengan yeoja kampungan sepertimu. Jangan berharap kita bisa seperti dulu lagi, karena aku akan melupakanmu. Kau tau? Mengenal yeoja kampungan dan bodoh sepertimu adalah aib bagiku!’ ia langsung menutup teleponnya tanpa menunggu aku berbicara. Aku mencoba menghubunginya keesokan harinya, tapi nomor handphonenya sudah tidak aktif. Selama tiga hari aku tak henti-hentinya menangis. Tapi aku berpikir, untuk apa menangisi namja seperti itu? Tak akan ada gunanya. Dan mulai saat itu aku berjanji, bahwa aku tidak akan pernah mau dekat dengan seorang namja yang bekerja di dunia artis.” ia mengakhiri ceritanya. Ia menutup mata dan menghirup udara yang segar ini dalam-dalam.
Jadi hanya karena itu ia tak ingin dekat denganku? Haha...konyol sekali! Apa dia pikir semua artis seperti itu?
“Jadi, kau berpikir bahwa aku sama dengan temanmu itu? Sama jahatnya, begitu?” aku berusaha tetap terlihat tenang walaupun aku sedikit marah.
“Mollayo. Aku hanya, oppa tau, sangat trauma.”
“Tapi kau tak usah menyamakan aku dengan dia! Aku berbeda, sangat berbeda! Tidak semua artis seperti dia. Coba mengertilah!”
“Tapi, wae? Kenapa oppa ingin dekat denganku? Banyak yeoja-yeoja di sana yang lebih menarik dariku. Bahkan lebih cantik, pintar, kaya, dan terkenal dariku. Itu karena oppa hanya ingin membodohiku kan??! Aku tau yeoja kampungan sepertiku ini jarang oppa temui di kota sana!!” ia membentakku.
“Aku sudah bilang bahwa aku mencintaimu!! Aku sangat mencintaimu!! Aku tak butuh yeoja-yeoja lain. Yang aku butuhkan hanyalah kau, Fani!!! Aku bersumpah bahwa yang kukatakan ini adalah benar, bukan hanya omong kosong!!” aku balik membentaknya. Ia tak berani menatap wajahku. Aku diam sesaat.
“Aku ingin kau menjadi yeojachingu-ku...” aku berkata dengan pelan, membuat ia terkejut dengan ucapanku.
“Mwo?”
“Aku ingin kau menjadi yeojachingu-ku. Aku berjanji tidak akan mengecewakanmu. Aku tidak akan pernah melakukan apa yang namja itu pernah lakukan padamu. Aku mohon...jadilah pengisi hatiku!” aku memohon padanya.
“Oppa ingin menjadikan yeoja sepertiku yeojachingu-mu?” ia sepertinya tak percaya dengan apa yang aku katakan. “Aku tak yakin...”
“Percayalah padaku!” kini aku berlutut di depannya. Ia memejamkan matanya, terlihat sedang berfikir. Menimbang-nimbang tentang tawaranku, berusaha memikirkan perasaanku dan perasaannya. Lama ia diam, dan akhirnya...
“Arasseo, aku mau menjadi yeojachingu-mu.” ia membuka matanya dan tersenyum padaku. “ Tapi dengan dua syarat!”
“Apapun akan kulakukan.”
“Pertama, aku tak ingin publik mengetahui tentang hubungan kita. Kedua, aku ingin oppa menepati janji oppa tadi. Oppa sanggup?”
“Aku sangat menyanggupinya! Gomaweo!” aku langsung memeluknya dan mengecup keningnya. Aku senang bukan main. Senyum bahagia terus terkembang di wajahku dan wajahnya. Tapi aku jadi teringat teman-temanku.
“Ah, Fani...apa aku boleh memberitahukan ini pada teman-teman boyband-ku? Aku akan memastikan hanya mereka saja yang tau. Pleaseee...!” pintaku sambil menunjukan puppy eyes. Ia terlihat berpikir sebentar.
“Hmm...arasseo!” ia tersenyum manis padaku. Aigoo...neomu yeppeo!
“Gomaweo Fani, gomaweo! Aku berjanji tak akan menyia-nyiakanmu.” aku kembali memeluknya. Akhirnya yeoja dari Indonesia ini berhasil aku dapatkan. Aku sangat beruntung sekali. Aku yakin teman-temanku akan iri padaku. Aku harus segera mengabari mereka, harus! Aku tak akan membiarkan kabar gembira ini begitu saja.
Pagi itu burung-burung berkicau menyambut cinta kami. Kami menikmati pemandangan gunung Hinsaek yang indah di pagi hari dan membiarkan gunung itu menjadi saksi putih cinta kami yang suci.

Setelah kembali ke asrama di Seoul, aku langsung memberitahu YoSeob, DongWoon, DooJoon hyung, HyunSeung hyung, dan JunHyung hyung tentang yeojachingu-ku. Mereka mengatakan bahwa Fani sangat cantik sekali ketika aku memperlihatkan fotonya pada mereka.
“Neomu yeppeo, hyung. Apa aku juga bisa mendapatkan yeoja seperti dia?” kata DongWoon saat melihat foto Fani di handphone-ku.
“Tentu saja tidak bisa! Dia yeoja yang tak ada duanya di dunia ini, hahaha!” aku tertawa puas padanya yang sedang cemberut. Jujur saja, aku bangga memiliki yeojachingu seperti Fani.
“Aigoo...dasar kau ini. Padahal kau kenal dengan yeoja-yeoja yang sama populernya denganmu, tapi kenapa kau lebih memilih yeoja yang malah menggunakan internet pun tidak pernah?” sela JunHyung hyung.
“Apa hyung tidak tau? Kebanyakan dari mereka mencari namjachingu hanya karena harta atau kepopulerannya saja. Dan aku tidak suka itu. Ups, jangan merasa tersindir lho hyung, aku yakin Goo Hara tipe yeojachingu yang baik.” aku meyakinkan JunHyung hyung yang sepertinya merasa tersindir dengan penjelasanku.
“Aish...kau ini bikin aku iri saja. Kapan-kapan kenalkanlah pada kami yeojachingu-mu itu.” kata DooJoon hyung.
“Benar benar...sekalian aku mau bertanya pada Fani apakah dia punya teman wanita cantik yang masih lajang, karena aku akan mengincarnya, hahaha...” YoSeob tertawa nakal. Dasar, ceplas ceplos sekali dia.
“Dasar YoSeob. Ne, nanti aku akan mengenalkannya pada kalian.”
“Eh ngomong-ngomong, bagaimana ceritanya kau bisa sampai jatuh cinta pada yeoja desa seperti Fani? Dia juga kan bukan warga asli Korea...” HyunSeung bertanya padaku yang sepertinya sedari tadi penasaran dengan ceritaku. Aku pun tersenyum mendengar pertanyaannya.
Malam itu aku menceritakan awal kisah cintaku pada mereka. Kisah cinta yang akan terus terukir dalam hatiku.

Mungkin saat-saat ini aku jarang menemuinya. Tapi jika ada waktu luang, tempat pertama yang aku kunjungi adalah halte bus di desa orang tuaku. Aku selalu memintanya datang ke sana. Tentu saja untuk melakukan kebiasaan kami. Aku tak menyesal memilikinya, kerana dia tak pernah mengeluh kalau aku jarang menemuinya. Hmm, bisa dibilang dia mengerti bagaimana pekerjaanku di dunia artis. Yah, walaupun jarang bertemu, tapi kami selalu menjalin komunikasi melalui handphone, baik melalui telepon, sms, atau video call. Sebenarnya ia menolak diberi handphone olehku dengan alasan tidak bisa menggunakannya dengan baik, tapi karena aku memaksa dan bersikeras mengajarinya cara menggunakan handphone, akhirnya ia mau.

Akhirnya kini ada semangat yang selalu membalut jiwaku, semangat yang selalu mengisi hatiku. Berkat Fani, aku lebih semangat menjalani hari-hariku bersama BEAST dan B2UTIES.

-THE END-

PLEASE LEAVE YOUR COMMENT...!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar