Jumat, 05 Agustus 2011

The End Of Our Story (Part 1)

-Title :
The End Of Our Story (Part 1)
-Author :
Fani Yunisa
-Main Cast :
Kim HyunAh (4Minute)
Yong JunHyung (B2ST/BEAST)
Park GyuRi (Kara)
-Supporting Cast :
Kim So Eun
Goo Hye Sun
-Rating :
PG
-Genre :
Classic romantic
-Length :
3shot
---

The story begin...

HyunAh’s POV

Aku tak bisa merasakan sejuknya langit senja. Suara kicau burung pun tak terdengar. Semuanya terasa buram di kepalaku. Padahal padang rumput dengan latar belakang gunung Seorak ini adalah tempat favoritku. Pikiran-pikiran itu memenuhi seisi otakku, membuat kepalaku pusing. Bahkan suara dokter terus mengiang-ngiang di telingaku. Sayang, raga ini baru kurasakan selama enam belas tahun. Mungkin ini sudah jalanku, takdirku. Aku harus membuat segalanya menjadi indah...

“Ya! Jun-a...annyeong haseyo!!!” seruku pada JunHyung, teman sebangkuku, saat bertemu di jalan ketika akan berangkat sekolah.
“Mwo? Oh, annyeong. Tumben kau menyapaku dengan ucapan selamat pagi. Biasanya kau hanya bilang ‘Oi’ sambil memukul pundakku, kau sedang tidak waras ya?” kata JunHyung yang heran mendengar ucapan selamat pagi dariku.
“Kau ini, tak ingin dapat perlakuan lembut dariku ya, hah? Ah sudahlah lupakan.”
“Hahaha...mianhae mianhae, hanya saja itu terasa aneh bagiku. Oh iya, kenapa sudah dua hari ini kau tidak masuk sekolah?” tanya JunHyung. Ya aku memang sudah dua hari tak sekolah, itu karena aku sakit.
“Aku sakit, tapi sekarang tidak apa-apa kok.” jawabku menghindari tatapannya.
“Benar nih? Tapi belakangan ini kamu sering tidak sekolah karena sakit.” katanya dengan wajah sedikit khawatir.
“Ne, aku tidak apa-apa, ya mungkin itu karena aku terlalu kelelahan. Hei kau sudah mengerjakan PR Biologi?” tanyaku mengalihkan topik.
“Tentu...mwo? Kau mau menyontek?” tanya JunHyung yang sepertinya sudah tahu jawabanku.
“Ne, tau aja, kekeke” jawabku terkekeh.
“Hei HyunAh, kau ini sudah kelas 2 SMA, kenapa kau tak ingin merubah sikapmu yang malas itu sih?” kata JunHyung sambil mengusap rambutku kasar.
“Ya! Jangan mengacak-ngacak rambutku. Enak saja kau bilang aku malas, aku ini sibuk membantu kakakku tau. Kau kan tau sendiri eomma dan appa-ku sudah tak ada dan aku hanya tinggal bertiga dengan eonnie dan namdongsaeng-ku. Kalau bukan aku yang mengurus urusan rumah, kapan eonnie-ku akan bekerja mencari uang, hah?” jawabku menyolot.
“Arayo, kau selalu menggunakan alasan itu, dasar Hyunnie.” katanya dengan senyum nakal yang membuat wajahnya semakin tampan.
“Jun-a...sudah kubilang jangan panggil aku Hyunnie, itu menjijikan.” kupukul pundaknya sambil mengerutkan kening.
“Hahaha...aku suka melihat ekspresimu jika kupanggil ‘Hyunnie’.” dia tertawa puas.
“Cih, dasar.” kataku sambil cemberut.
Selama perjalanan kami terus becanda...yah itu sudah menjadi kebiasaanku dengannya. JunHyung sudah menjadi temanku sejak kami kelas lima SD. Bisa dibilang dia termasuk kategori ‘Namja Tampan’, tapi jujur saja, wajahnya sedikit sangar. Setahuku, lebih dari tujuh yeoja telah berusaha mendekatinya selama di SMA, walaupun kelihatannya ia tidak tertarik. Kami teman dekat, bahkan sangat dekat. Rumah kami pun hanya terpisah oleh tiga rumah.
Akhirnya sampai juga di sekolah. Sebelum masuk ke kelas, aku teringat dengan rencanaku.
“JunHyung, kau punya waktu tidak sepulang sekolah?”
“Hmm...tidak ada. Wae?” tanyanya heran.
“Ada yang mau aku bicarakan denganmu dan ini very very very secret!” jawabku dengan suara pelan.
“Arasseo, terserah kau saja.”

Sepulang sekolah, aku mengajak JunHyung ke tempat favoritku, padang rumput dengan latar belakang gunung Seorak. Kami berdua duduk di bawah pohon rindang. Haahh...anginnya sejuk sekali. Kupejamkan mata dan kuhirup udara ini dalam-dalam, merasakan sentuhan angin di kulit wajah sebelum kubicarakan masalahku pada JunHyung.
“Hei ada apa kau mengajakku ke tempat favoritmu ini?” JunHyung membuka pembicaraan.
“Sebelumnya aku mau bertanya padamu. Kau kan pernah koma selama tiga hari ketika kau masih kelas dua SMP, rasanya bagaimana?”
“Entahlah. Seingatku, selama aku koma aku bermimpi sedang berada di padang rumput yang luas. Banyak alang-alang yang tumbuh tinggi. Aku bersama seorang yeoja di sana, tapi aku sama sekali tak ingat wajahnya dan aku pun tak ingat apa saja yang sudah aku lakukan dengannya. Wae?” JunHyung mengakhiri penjelasannya.
“Anio, aku hanya penasaran apakah meninggal dan koma rasanya sama. Aku malah berpikir bahwa koma lebih menyakitkan daripada meninggal.”
“Hmm...iya mungkin, karena koma ada kemungkinan kita hidup kembali, berbeda dengan meninggal. Ketika aku sadar dari koma, tubuhku terasa sakit semua. Padahal ketika sedang bermimpi badanku sehat sekali.” jelasnya sambil mengingat-ngingat.
“Jun...kau mau mendengarkan ceritaku tidak?”
“Anio...lagi suasana sejuk begini bisa-bisa aku tertidur ketika sedang mendengarkan ceritamu, kekeke...bercanda, tentu saja mau. Silahkan mulai.” ia mempersilahkan. Dasar JunHyung, bisa-bisanya becanda saat aku sedang serius. Yah aku tak akan menyalahkan sifatnya yang usil itu. Karena dia, aku bisa merasakan apa yang disebut dengan kebahagiaan.
“OK, aku mulai. Diceritakan ada seorang yeoja malang yang sedang bingung dengan nasibnya. Bukan bingung dengan karir atau keluarga yang akan ia bangun di masa depan. Tapi ia bingung dengan penyakitnya yang tak bisa disembuhkan. Sudah beberapa dokter ia datangi dan hasilnya tetap sama. Kanker hati. Ne, penyakit itulah yang sedang menggerogoti dirinya. Ia hanya tinggal dengan seorang eonnie dan seorang namdongsaeng karena kedua orang tuanya sudah meninggal.
Ketika ia sedang melamun dan bersedih di sebuah padang rumput yang luas, timbul pikirannya yang lain. Seandainya ia meninggalkan dunia ini, kakaknya tak akan menanggung beban begitu berat. Yah tau sendiri biaya hidup di Seoul itu tinggi. Ia juga tak perlu lagi mendengar adiknya menangis karena kurang mendapat makanan, toh jatahnya bisa menjadi bagian adiknya. Ia juga tak akan lagi merepotkan temannya dengan meminta contekkan PR. Dia berpikir akan lebih baik jika ia tak ada di dunia ini dan ia memutuskan untuk tidak bersedih lagi dengan penyakitnya. Beribu-ribu kali ia menagis pun, toh penyakitnya tak akan sembuh. Akhirnya ia merencanakan bagaimana caranya agar hari-hari terakhir hidupnya terasa menyenangkan.
Jun, menurutmu apa yang harus gadis itu lakukan agar hari-hari terakhirnya terasa menyenangkan?” tanyaku mengakhiri cerita yang memilukan itu. Aku menunggu jawaban JunHyung yang dari tadi menatapku curiga.
“Mwo?”
“HyunAh, itu...bukan cerita hidupmu kan??” tanya JunHyung dengan kening mengkerut.
Pertanyaan JunHyung itu mengawali jatuhnya air mataku yang sudah kutahan selama 24 jam terakhir. Aku tak kuasa menahannya, aku jatuh di pelukan JunHyung dan berkata, ”Mianhae Jun, jeongmal mianhae...aku tak bisa menjadi temanmu lebih lama lagi.” ia terlihat bingung dengan penjelasanku.
“Anio, kau bohong! Tak mungkin cerita itu adalah kisah hidupmu. Hei, ini bukan April Mop, buatlah candaan yang lebih ringan.” kata JunHyung yang jelas-jelas meragukan kisahku.
“Justru karena ini bukan April Mop, Jun. Aku mengatakan yang sebenarnya. Tunggu sebentar...” aku teringat hasil pemeriksaan dokter yang kubawa untuk kuperlihatkan pada JunHyung, karena seperti dugaanku, ia tak akan langsung mempercayaiku. Kuusap air mataku dan kuambil amplop besar berwarna putih dengan cap ‘Seorak Hospital’ dari dalam tas sekolahku.
“Bacalah...kuharap kau percaya.” kuserahkan amplop itu padanya. JunHyung membacanya dan mengulangnya sampai tiga kali. Kini pandangannya kosong, setelah beberapa saat, ia menatapku.
“HyunAh...kau...kau...ta..tapi kenapa bisa?? A...aku tak mengerti...”
“Ne, selama beberapa hari belakangan ini aku tak sekolah karena aku terkena kanker hati, sudah stadium akhir. Aku tak yakin apakah besok aku kuat untuk sekolah. Dokter bilang hidupku tak akan lama. Yah kalau dihitung sampai hari ini, aku hanya akan hidup tiga hari lagi. Itu vonis yang dijatuhkan dokter padaku. Kalau aku orang kaya, mungkin dari awal penyakit ini sudah sembuh. Lagian, seharusnya sekarang ini aku sedang dirawat di rumah sakit, tapi sekali lagi, karena masalah biaya aku hanya dirawat di rumah oleh kakakku. Huuft...aku sudah membulatkan tekad untuk membuat hari-hari terakhirku menyenangkan, tanpa ada kesedihan. Jun, maukah kau mewujudkan itu semua? Aku mohon, ini permintaan terakhirku...” pintaku pada JunHyung.
Ia kelihatannya masih tidak percaya, ia melihat dengan pandangan kosong ke arahku. Beberapa menit berlalu ia tetap saja diam. Aku kembali bertanya padanya.
“Jun-a...mau tidak? Tidak apa-apa kalau kau tidak mau, aku tidak akan memaksa.”
Tidak lama, ia menganggukkan kepalanya pelan, membuat hatiku sedikit tenang. Aku tersenyum padanya dan berkata, “Gomaweo...”. Tak ada respon apapun darinya. Ia hanya memandang langit dengan tatapan kosong. Begitu kagetkah dia mendengar bagaimana keadaanku ini? Mungkin. Kulihat langit yang mendung dan sedikit demi sedikit air hujan jatuh membasahi tubuhku. Tapi aku tak peduli. Biarkanlah air hujan ini membasahi tubuhku, siapa tahu ini adalah hujan terakhir yang dapat kurasakan.

Sebenarnya hari ini aku tak ingin sekolah karena kondisi tubuhku yang lemah dan perut yang sakit sekali, seperti ada batu tajam yang merobek-robek dinding perutku. Tapi aku memaksakan diri karena ingin bertemu dengan teman-teman, terutama JunHyung. Sebelum sekolah, kututupi muka pucatku dengan bedak dan lipgloss. Dan ketika keluar rumah, kudapati seorang namja sedang berdiri di depan pagar rumahku. Ia menyambutku dengan senyum datar. Tumben pagi-pagi datang ke rumah, pikirku.
“Oi, Jun, tumben kau ke rumahku, ada apa?” sambutku padanya dengan senyum lebar, tapi ia hanya membalasnya dengan senyum kesedihan.
“Ya! Jangan sedih begitu, aku tak suka melihatnya. Kau datang kerumahku seperti mau melayat saja.” candaku.
“Aku hanya ingin berangkat ke sekolah sama-sama, yuk.” ajaknya.
“Anio, aku tidak mau berangkat denganmu kalau kau memasang wajah sedih seperti itu. Kau kan sudah setuju untuk membuat hari-hari terakhirku menyenangkan, kau lupa ya?”
“Ah...anio, mianhae” jawabnya dengan senyum tulus.
“Nah...begitu dong.”

HyunAh’s POV End

JunHyung’s POV

Aku terus memikirkan HyunAh dalam perjalanan ke sekolah. Aku tak bisa membayangkan keadaannya yang sekarang. Kuyakin pasti berat. Kenapa hari ini kau sekolah? Apa kau memaksakan diri? Kau ini memang keras kepala.

HyunAh, kenapa kau tak bisa menemaniku lebih lama. Aku ingin kau menemaniku sampai akhir hidupku, tapi ini malah sebaliknya. Apa yang harus aku lakukan, padahal lusa kau akan meninggalkanku, meninggalkan semua orang. Tapi aku masih belum menemukan cara agar kau merasa bahagia. Aku berteriak dalam hati, bukan ini takdir yang kumau! Bukan begini akhir yang kumau denganmu. Ah...kenapa aku tak bisa mengubah takdir? Aku harus berjuang, bagaimana pun caranya, agar aku bisa membuat yeoja yang satu ini bahagia di hari-hari terakhirnya. Bahkan aku akan terus berada disampingnya di saat-saat terakhir hidupnya!

JunHyung’s POV End

HyunAh POV

Semua pelajaran hari ini tak ada yang masuk ke otakku. Kepalaku sakit bukan main dan perut sebelah kananku serasa di pukuli dengan besi, tapi kutahan karena tak ingin membuat JunHyung khawatir. Saat pelajaran berlangsung, JunHyung terus melirikku bahkan saat aku sedang istirahat di kantin bersama Hye Sun dan So Eun, ia terus berada di sisiku. Tapi tak apalah, ini tak akan berlangsung lama.
Sepulang sekolah aku mengajak JunHyung ke GameStation dekat sekolah.
“Mwo? GameStation? Mau apa kau ke sana? Lebih baik kau pulang saja dan istirahat.” terlihat ekspresi khawatir di wajahnya.
“Gwenchanayo, aku baik-baik saja. Kalau cuma main game sih aku masih kuat.” kutirukan gaya olahragawan angkat besi saat memamerkan otot-otonya.
“Ne ne...kau ini keras kepala sekali, kajja!” dia tersenyum dan berjalan di depanku. Aku yakin dalam hatinya ia tetap tak setuju kalau aku mampir ke GameStation.
Kuhabiskan siangku di GameStation bersama JunHyung. Kulihat ia tersenyum bahkan tertawa puas jika aku kalah bermain game darinya. Walaupun aku tak tau apakah senyum dan tawanya benar-benar tulus atau hanya senyum dan tawa palsu untuk menutupi topengnya yang sebenarnya sedang menangis.
Setelah beberapa jam, JunHyung mengajakku pulang karena hari memang sudah sore. Untungnya, jarak dari GameStation ke rumah tidak terlalu jauh, jadi kami pulang dengan berjalan kaki.
“Jun, besok kau mau menemaniku tidak?”
“Odika? GameStation lagi?” tanyanya.
“Masa ke GameStation lagi, bosen tau. Aku mau kau menemaniku ke Pasar DongSon besok sepulang sekolah. Mau kan? Pleaseeee....” lirihku pada JunHyung.
“OK OK. Tapi sebaiknya kau besok tak usah sekolah. Dari semenjak pagi sampai sekarang wajahmu terlihat pucat.”
“Tenang saja, aku masih kuuuuattt! Tapi memangnya terlihat sekali kalau wajahku pucat?” tanyaku.
“Percuma kau tutupi dengan bedak atau lipgloss. Di mataku, wajahmu tetap terlihat pucat.”
“Lho kenapa kau tau kalau aku pakai bedak dan ligloss? Rasanya aku hanya memakainya sedikit.”
“Hahaha...mungkin kau bisa menipu orang lain agar mengira kau tidak sakit, tapi aku tidak. Kita sudah lama bersama dan aku tau kau tidak suka dandan. Makanya aku heran dengan perubahan wajahmu hari ini dan aku yakin bahwa kau memakai make-up di wajahmu.” dia tertawa puas seakan ingin menunjukan diri bahwa ia pintar. Aku senang melihatnya tertawa puas. Aku bersyukur masih diberi kesempatan untuk melihat tawanya yang puas itu. Rasa nyaman selalu menjalari tubuhku jika aku mendengar tawanya dan melihat senyumnya. Entah mengapa aku tak bisa sedekat ini dengan namja lain. Dialah satu-satunya namja yang bisa mengerti aku dan keadaanku. Terkadang aku sedikit panas jika ada seorang yeoja yang berusaha dekat dengannya. Apakah aku mencintainya? Aku tak tau. Aku tak akan memikirkannya karena percuma kupikirkan. Toh jika aku memang mencintainya, pada akhirnya pun ia akan kutinggalkan. Sesekali muncul pertanyaan di otakku, apakah JunHyung mencintaku? Tapi aku tak pernah menemukan jawabannya.
Perut kananku terasa sakit lagi. Ya Tuhan, tolong tahan sakit ini sampai di rumah. Biarkan JunHyung tidak melihat ekspresi wajahku yang sedang kesakitan.
Dan akhirnya setelah beberapa menit berjalan, aku sampai juga di depan rumahku.

HyunAh’s POV End

JunHyung’s POV

“Tidak terasa sudah sampai lagi di depan rumahmu. Sana masuk, beristirahatlah. Kalau besok mau ke Pasar DongSon, kau tidak boleh kekurangan istirahat.” titahku.
“Ne, kau juga jangan tidur malam-malam. Kau kan harus menemaniku ke sana.”
Tiba-tiba pintu depan rumah HyunAh terbuka. Seorang yeoja yang lebih tua dari HyunAh keluar dari rumah. Ah, itu kakaknya, Park GyuRi.
“Ya ampun HyunAh, kenapa pulang dari GameStation hampir malam begini?” katanya yang langsung menghampiri HyunAh.
“Gwenchanayo, kan ada JunHyung yang menemaniku. Selama ada dia, aku akan baik-baik saja.” jawabnya meyakinkan sambil melihatku dengan tersenyum.
“Habis HyunAh keras kepala sih, aku suruh pulang saja dia malah tidak mau.”
“Dasar HyunAh. Tapi makasih yah Jun, kau sudah menemaniku adikku yang keras kepala ini.” kata Kak GyuRi yang tersenyum sambil mengacak-ngacak rambut HyunAh. Aku tak melihat ekspresi kesedihan di wajahnya. Apakah HyunAh juga meminta hal yang sama pada kakaknya?
“Sama-sama, noona. Aku sudah terbiasa kok menghadapi si keras kepala ini, hehe. Sudah ya noona, HyunAh, aku pulang dulu. Nanti malam mimpi indah ya Hyunnie. Annyeong kyeseyooo...” aku pergi meninggalkan Kak GyuRi dan HyunAh dengan ekspresinya yang lucu.
“Ya! Jun-a! Sudah kubilang jangan panggil aku dengan sebutan ituuuu....!” teriaknya, tapi aku hanya tersenyum puas dan aku melihatnya masuk ke rumah bersama kakaknya.
Lekas aku mandi dan merebahkan badanku di tempat tidur sebelum makan malam. Hyunnie...apakah aku berhasil membuatmu senang hari ini? Senang melihat wajahmu yang tersenyum dan tertawa hari ini. Tapi apakah besok aku masih akan melihatnya? Yah semoga saja. Aku tau tadi kau kesakitan saat jam pelajaran sedang berlangsung dan saat perjalanan pulang. Kau ingin terlihat tegar, tapi kau tak bisa mengelabuiku. Setegar apapun kau, tetap aku bisa melihat sisi lemahmu. Kau memang berbeda dengan yeoja lain. Kau cantik, baik, polos, cerewet, pemalas, kelas kepala, sedikit tomboi, bodoh, dan menarik. Sayang, kebersamaan kita selama 7 tahun harus berakhir begitu saja.
“Jun-a! Ayo makan dulu.” terdengar suara eomma memanggilku dari ruang makan.
“Ne...!” aku pun bangun dan meninggalkan kamar.

Seperti kemarin, aku berdiri di depan rumah HyunAh tanpa bersuara sedikit pun, menunggunya keluar. Aku ingin berangkat ke sekolah bersamanya. Memang tidak seperti biasanya, mungkin karena aku khawatir jika dia tiba-tiba ‘ambruk’ di jalan.
Tak lama aku menunggu, akhirnya dia keluar rumah. Dengan wajah tertutup bedak dan bibir berlapis lipgloss, dia tersenyum melihatku. Sepertinya ia sudah mengira bahwa aku akan menunggunya.
“Eonnie! Aku berangkat ya!” teriaknya dari luar.
“Ne!” terdengar jawaban dari dalam rumah yang tak lain tak bukan adalah Kak GyuRi.
Sambil berjalan, aku terus memperhatikan wajahnya dari samping. HyunAh pun menyadarinya.
“Wae? Kau suka ya padaku, hah? Dari tadi kau memperhatikanku terus.”
“Ne, atu cuka tadamu Hyunnie, hahahaha...” jawabku sambil menirukan cara bicara bayi.
“Ya! berisik! Mendengar kau berbicara seperti itu membuatku ingin memukulmu.” katanya sambil mengepalkan tangan di depan wajahku.
“Whoa...ceyemmm, kekeke. Sebenarnya aku hanya sedikit risih dengan bedakmu yang tebal itu, kau jadi seperti badut.”
“Omo, memangnya terlihat sangat tebal? Tadi pagi kulihat sepertinya sudah pas.” dia segera mengambil cermin kecil dan kapas di tasnya.
“Wah wah wah...sejak kapan Hyunnie membawa cermin kecil dan kapas di tasnya? Kau sudah mulai centil ya rupanya.” godaku ketika dia sedang melihat wajahnya di cermin. “Apalagi yang kau bawa? Bedak, lipgloss, parfum, pelembab, handbody, kipas?”
“Ya! Kau pikir aku ke sekolah mau Fashion Show bawa barang-barang seperti itu? Mukaku kan pucat, jadi aku harus menutupinya dengan bedak. Makanya aku bawa kaca supaya aku tau apakah wajahku sudah cukup terkena bedak atau tidak. Dasar kau namja tidak pengertian.” katanya dengan wajah cemberut yang membuatnya semakin lucu.
“Hahaha...algesseoyo. Aneh bagiku melihatmu bercermin, apalagi berdandan. Biasanya kan kau tampil natural, dan aku suka itu.” kulihat dia menunduk malu. Walaupun wajahnya tertutupi bedak, aku yakin pipinya memerah.
“Berisik kau, cerewet. Omo...!” pandangannya tiba-tiba kosong dan tangan kirinya memegang kepala sebelah kiri.
“Wae? Kau tidak apa-apa?” dalam sekejap aku menjadi panik, takut terjadi apa-apa.
“Jun-a...aku lupa mengerjakan PR Matematika. Ottoke??”
“Huuh, kau mengkhawatirkanku saja, kukira ada apa. Aku mengerti apa maksudmu, nanti kupinjamkan.” aku lega ketika tahu dia tak apa-apa. Dasar Hyunnie, mengagetkan saja.
“Hehe...gomawo Jun.” Ia tersenyum manja padaku.
“HyunAh, bisakah kau panggil aku ‘Junnie’? Sepertinya nama itu cocok untukku yang ber’image’ cute dan menarik ini.” aku berpose so cute di depannya.
“Mwo? Uekk...Ya nama itu memang cocok untuk namja aneh sepertimu.” jawabnya sambil berpura-pura muntah.
“Kejam sekali kau ini. Asal kau tau ya, semenjak aku di SMA, sekitar...hmm, berapa ya? Satu, dua, tiga...oh iya delapan! Setidaknya ada delapan yeoja yang berusaha dekat denganku. Itu tandanya aku ini menarik kan? Ayolah Hyunnie...panggil aku Junnie!” aku memohon sambil setengah merengek.
“Anio...menjijikan sekali. Kalau kau ingin aku memanggilmu ‘Joker’ sih tak apa-apa karena menurutku itu keren Dan aku juga tidak beranggapan kau itu ‘cute’, malah menurutku kau ber’image’ sangar-keren.”
“Arasseo, gwenchanayo. Tapi aku tak akan memberimu contekan PR dan tak akan menemanimu ke Pasar DongSon.” kataku sambil meninggalkannya di belakang. Aku memasang wajah cemberut agar dia luluh.
“Ya! Tunggu aku...! Katanya kau mau memberikan contekan dan menemaniku ke pasar, bagaimana sih?! Hei tunggu aku!” aku berjalan semakin jauh dan tidak menengok ke belakang.
“Ya! Junnie, tunggu aku!” aku pun berhenti dan menoleh ke belakang.
“Apa katamu? Aku tak bisa mendengarnya!” aku berteriak dan meletakkan tangan di telinga, pura-pura tak mendengar.
“Junnieeeee! Tunggu akuuu!!!!”
Aku tersenyum lebar mendengarnya memanggilku ‘Junnie’. Akhirnya dia luluh dengan sikapku, kekeke.
“Arasseo arasseo...come on!” setelah mendekat aku meletakkan tangan kananku di bahunya dan mengelus kepalanya dengan lembut. Aku tidak pernah melakukan kebiasaan ini kepada yeoja lain, hanya pada HyunAh. Ya, hanya padanya.
“Puas kau?” tanyanya dengan menundukan kepala, sepertinya dia malu.
“Puassss sekali, kekeke...” jawabku.
Sesampainya di kelas, HyunAh langsung menyontek PR-ku. Seperti biasa, pagi-pagi sebelum bel masuk teman-teman sekelasku sibuk mengerjakan PR dan tugas-tugas. Dan seperti biasanya juga, hanya aku yang terlihat santai. Maklumlah, aku bukan tipe orang yang instan. Kuperhatikan HyunAh yang sedang menulis. Serius sekali dia. Saking seriusnya, ia mengerjakan PR sampai berkeringat dan membuat bedaknya sedikit terhapus. Lucu sekali wajahnya, ia terlihat sangat khawatir, sampai ia menggigit bibir bagian bawahnya. Mungkin ia takut tidak keburu mengerjakan PR karena Matematika memang pelajaran yang pertama.
Tapi tunggu, ia tidak seperti sedang mengkhawatirkan pekerjaannya. Ia malah seperti sedang...menahan kesakitan. Ya, dia sedang kesakitan karena kulihat tangan kirinya sedang memegang perut bagian kanan.
“HyunAh, kau kenapa?”
“Ah...aku tidak apa-apa” jawabnya dengan suara pelan yang seperti sedang menahan sesuatu.
“Jangan berbohong padaku HyunAh, aku tau kau sedang kesakitan. Perutmu sakit kan?” tanyaku sambil memegang perut sebelah kanannya. Kenapa sih ia selalu berpura-pura terlihat kuat? Padahal aku sudah mengetahui masalahnya. Aku khawatir sekali ketika melihat ekspresinya yang sedang menahan kesakitan itu.
“A-aku benar-benar tidak apa-a...” tiba-tiba ia terkulai jatuh di atas meja.
“Hey HyunAh! HYUNAH...!!!

JunHyung’s POV End

To Be Continue...

PLEASE LEAVE YOUR COMMENT...!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar