Love Is A Deal (Part 1)
Author :
JunEonnie
Main Cast :
Fani (Author)
Yong Junhyung (B2ST/BEAST)
Kwon Jiyong (Bigbang)
Park Soyeon (T-Ara)
Rating :
PG
Genre :
Love, friendship, life
Length :
Chapter
Disclaimer :
The story is MINE! No PLAGIARISM please!!!
---
Fani's POV
Dan
coba tebak siapa yang datang? Ternyata mereka adalah keluarga...Yong? Mwo?!
Orang bernama Yong Junhyung itu akan menjadi calon suamiku?
Aku hampir saja membuka mulutku
lebar-lebar saat melihat mereka datang. Tapi eomma dengan sigap menutup mulutku
dengan tatapan mautnya. Bukannya apa-apa, tapi aku yakin perjodohan ini tidak
akan berhasil. Junhyung sama denganku. Sama-sama keras kepala.
Dengan segala kemampuan yang ada,
aku berusaha tersenyum selama pertemuan berlangsung, begitu juga dengan
Junhyung.
“Fani, coba kau ajak Junhyung
jalan-jalan di taman belakang. Sepertinya duduk bersama dengan orang tua tidak
membuat kalian leluasa untuk berbincang-bincang.” perintah eomma.
Sementara para orang tua
membicarakan masalah perusahaan yang membosankan, aku mengajak Junhyung ke
belakang.
“Kau tidak berminat menjadi artis?”
tanya Junhyung tiba-tiba.
Pertanyaan itu tentu saja membuatku
heran. “Mwo? Apa maksudmu?”
“Aktingmu tadi sangat hebat.
Benar-benar seperti yeoja yang dengan rela menerima perjodohan ini.” jawabnya
dengan senyum mengejek.
“Cih, kau pikir aku tidak tahu kau
juga sedang berpura-pura? Lagipula, kalau eomma tidak menyita iPad, iPhone,
MacBook, dan semua barang berharga milikku, aku tidak akan sudi tersenyum
selama percakapan membosankan tadi. Lagipula, kenapa kau tidak menolak
perjodohan ini? Apa kau tidak waras?”
“Kau pikir aku mau dijodohkan
denganmu? Kalau bukan karena ancaman harta warisan yang akan dicabut, aku pasti
akan menolak perjodohan ini secepatnya, yeoja so-perfect!” jelas Junhyung
dengan nada penuh penekanan.
“Kau pikir kau sempurna? Tampan saja
tidak.”
“Terserah kau mau mengatakan apa.
Sekarang, aku akan menawarkan beberapa perjanjian padamu.”
Aku diam sejenak. Perjanjian? Apa
maksudnya perjanjian untuk menikah lalu bercerai? Seperti yang ada di
drama-drama itukah?
“Cih, aku tidak menyangka ternyata
kau sering menonton drama. Perjanjian apa?”
“Apa aku terlihat seperti namja yang
sering menonton drama?” ia tertawa sinis, “Perjanjian kecil. Aku tahu kau pasti
sudah bisa menebaknya. Ya, kita menikah, lalu setelah 6 atau 7 bulan kita
bercerai. Mudah kan?”
“Hmm...kalau itu tidak membuat
hak-ku untuk mendapatkan harta warisan dicabut, aku setuju. Yang lain?”
“Tidak mencampuri urusan
masing-masing. Kehidupanku milikku, kehidupanmu milikmu. Arasseo?”
Aku pun mengangguk setuju dengan
perjanjian kedua ini. “Lagipula siapa yang mau ikut mencampuri urusanmu?
Urusanku jauh lebih penting. Yang lain?”
“Kita harus tetap mengumbar
kemesraan di depan orang tua kita.” ucap Junhyung lagi. Sepertinya dia memang
sudah merencanakan perjanjian ini.
“Ne. Ada lagi?” tanyaku.
“Kurasa cukup, hanya itu.”
“Baiklah. Dariku hanya satu, aku
ingin hubungan kita dirahasiakan. Bahkan kalau kita sudah menikah. Dan, sesuai
dengan perjanjianmu yang kedua untuk tidak mencampuri urusan masing-masing, aku
mengartikan itu sebagai ‘kebebasan berhubungan’. Aku tidak ingin ada batasan
dengan siapa aku menjalin hubungan, terutama dengan namja. Kau juga pasti
setuju kan?
“Hmm, arasseo. Kita sepakat kan?”
Junhyung mengulurkan tangannya padaku untuk bersalaman, tanda kesepakatan. Aku
pun menyambut tangannya dan...terasa hangat. Berbeda sekali dengan hatinya.
Orang tua kami pun setuju tentang
disembunyikannya hubungan kami. Alasannya sederhana, tidak ingin diganggu
dengan berbagai pertanyaan yang pasti akan ditanyakan berkali-kali dan otomatis
membuat kami risih. Dan kami juga mengatakan bahwa kami masih ingin menikmati
status ‘single’ kami.
Dan ini merupakan awal yang
menyebalkan untukku.
---
“Perjanjian ya...” ulang Soyeon
pelan saat kami sedang duduk di taman.
“Ne. Sebenarnya aku agak keberatan
dengan perjanjian yang pertama. Bukan maksudnya aku mulai mencintai namja itu,
hanya saja aku tidak ingin memiliki status ‘janda’. Kau tahu kan bagaimana
orang-orang memandang seorang ‘janda’? Apalagi kalau orang itu orang kaya. Kau
tahu...kesannya seperti...barang bekas.”
Soyeon terlihat iba mendengar
penjelasanku. Tapi dia sadar ini adalah resiko yang harus kualami. “Asal kau
tidak menyepakati ‘baby project’, aku yakin semuanya akan baik-baik saja.”
Pernyataan itu tentu saja membuatku
tertawa, “Hahaha...kau pikir aku mau mengandung anak darinya? Aku tidak ingin
anakku sejelek appa-nya. Lagipula dua orang yang keras kepala tidak mungkin
menghasilkan sesuatu yang baik, kan?”
Mendengar ini, Soyeon hanya dapat
menggelengkan kepala, “Jangan sampai kau memakan perkataanmu sendiri. Lagipula,
junhyung tidak jelek. Memang tidak tampan sih, tapi dia keren menurutku. Malah
sangat berkharisma untuk ukuran seorang kapten tim basket.” jelasnya.
“Kau meyukainya?” tanyaku penuh
selidik.
“Ya! Apa kau lupa aku ini milik
siapa? Lagipula ini berdasarkan fakta. Kalau Junhyung tidak keren, kenapa dia
memiliki banyak mantan kekasih?”
“Maksudmu, dia playboy?”
Soyeon tampak berpikir sejenak,
“Hmm...entahlah. Dimataku ‘playboy’ adalah namja yang memiliki banyak
yeojachingu dalam waktu yang sama, lebih jelasnya selingkuh. Tapi Junhyung,
setahuku dia tidak pernah memiliki dua yeojachingu dalam waktu yang sama. Hanya
saja sekali putus, dia pasti dengan cepat mendapatkan yang baru.”
“Oh, tapi siapa peduli. Toh itu
urusannya. Eh, Soyeon-a, menurutmu apa alasan seorang namja memperhatikan yeoja
lebih dari 5 menit dengan sembunyi-sembunyi?”
Bukannya menjawab, Soyeon malah
balik bertanya, “Kenapa kau bertanya seperti itu?”
“Jawab saja dulu!” titahku.
“Hmm, kalau bukan karena suka,
mungkin ada sesuatu yang aneh pada orang itu. Waeyo?”
“Sebenarnya saat aku menyumbangkan 2
buku ke perpustakaan kemarin, Jiyong terus memperhatikanku. Walaupun aku tidak
melihatnya secara langsung, tapi aku merasakan itu dari sudut mataku. Aku tidak
membalas tatapannya, yah sekedar pura-pura tidak melihat.” jelasku. Sebenarnya
bukan hanya kemarin, beberapa kali aku menangkap basah Jiyong sedang
memperhatikanku.
“Mungkin dia menyukaimu...tapi
setahuku dia sedang mendekati seorang yeoja.”
“Nugu?”
“Molla. Ini baru gosip. Tapi jujur,
aku lebih suka kau dijodohkan dengan Jiyong daripada Junhyung...”
“Aku juga sebenarnya menyukai
Jiyong, sedikit. Tapi sudahlah. Semuanya sudah terlanjur terjadi. Jangan
membuatku tambah menyesali perjodohan ini. Dan Soyeon, temani aku ke
perpustakaan sekarang.”
---
Entah sejak kapan perpustakaan Seoul
University sesepi ini. Hanya terlihat beberapa orang yang sedang membaca buku.
Biasanya perpustakaan ini selalu ramai. Tidak terlalu ramai sih, tapi
setidaknya tidak sesepi ini.
Aku pun menghampiri meja penjaga. “Jeogiyo...”
panggilku kepada wanita penjaga perpustakaan. Dia sebenarnya tetanggaku saat
aku masih tinggal di daerah Mokpo. Umurnya 4 tahun lebih tua dariku. Dan kami
cukup akrab, mungkin salah satu faktornya karena aku sering mengunjungi
perpustakaan ini.
Dia menoleh dan tersenyum melihat
kedatanganku. “Ah, Fani...mau menyumbangkan buku lagi, eh?”
“Ani. Hey, biasanya eonnie
memanggilku ‘Nona-Tak-Bermarga’, sekarang kau kemanakan panggilan itu?” candaku
diiringi senyuman Soyeon.
“Aku sedang bad mood untuk
menjahilimu hari ini. Aku dimarahi Ny. Kim tadi pagi karena aku telat datang ke
perpustakaan.” jelas wanita yang sering kupanggil ‘Baby eonnie’ ini. Dia memang
terlihat lesu, tapi tidak membuat raut muka kekanak-kanakannya menghilang.
“Salah sendiri kenapa kau datang
terlambat. Oh ya eonnie, kenapa hari ini perpustakaan terlihat sepi? Apa sedang
ada acara di luar sana?” tanya Soyeon.
“Kalian tidak tahu?”
Aku dan Soyeon hanya bisa
menggelengkan kepala. “Ckck, kemana saja kalian ini? Hari ini akan ada
pertandingan basket tingkat nasional. Kalau tim Seoul University menang melawan
tim dari Kyung Hee Cyber University, maka tim itu akan bertanding dengan
perwakilan dari negara Jepang. Pertandingan yang sangat bergengsi, kau tahu?
Dan orang-orang lebih memilih menonton pertandingan itu daripada membaca buku
disini. Dan sekarang, apa kalian juga akan pergi meninggalkan tempat ini?”
“Ani. Aku tidak suka pertandingan
basket. Lebih baik aku disini untuk membaca buku.” jawabku. Soyeon hanya bisa
menatapku heran.
“Oh, arasseo. Kalau kau mencari buku
baru, cari saja di rak paling ujung sebelah kanan.”
Aku hanya menganggukan kepala dan
pergi meninggalkan meja penjaga, diikuti Soyeon.
“Ya! Sejak kapan kau membenci pertandingan
basket?” tanya Soyeon.
“Aku tidak pernah membenci permainan
itu. Yang aku benci adalah tim basket yang tadi Baby eonnie bicarakan.”
jelasku, dan Soyeon pun mengerti apa yang sedang aku bicarakan.
Aku dan Soyeon pergi ke tempat
dimana buku baru disimpan. Dan seorang namja sedang duduk di sudut tempat itu
dengan memegang sebuah buku tebal, mungkin novel. Sepertinya aku kenal dengan
namja itu. Dan aku memang mengenalnya.
Soyeon yang melihat pun segera
beralasan, “Err...Fan, sepertinya aku meninggalkan ponselku di meja penjaga,
aku akan mengambilnya sebentar.” dia pun pergi meninggalkanku bersama dengan
namja yang sekarang sedang memperhatikanku.
“Apa kau memberitahu dia tentang
hubungan kita?” tanya Junhyung dengan wajah dinginnya.
“Itu bukan urusanmu. Kalaupun iya,
aku mempercayainya. Dan, sedang apa kau disini?” aku balik bertanya.
“Itu bukan urusanmu.”
“Itu memang bukan urusanku. Aku
hanya ingin bertanya karena setahuku hari ini kau ada pertandingan. Kalau kau
tidak ingin menjawabnya, tidak akan menjadi masalah buatku.” aku menjawab
dengan sama dinginnya. Jariku masih tetap menelusuri buku-buku baru di depanku.
“Aku sedang menunggu pertandingannya
dimulai.”
“Disini? Di tempat ini? Cih, aku
tidak mengira ternyata kau sesombong ini.” ucapku sambil tersenyum menghina.
“Apa maksudmu?”
“Ck, aku tidak mengira ternyata
lawan bicaraku sebodoh ini. Jika kau merasa tidak sombong, saat ini kau pasti
sedang bersiap-siap, melakukan pemanasan atau yang lainnya. Tapi kau, kau malah
duduk santai di tempat ini, membaca buku dengan tenangnya. Itu berarti kau
menganggap dirimu hebat sampai-sampai tidak perlu melakukan persiapan apapun.
Kau ketua tim basket tersombong yang pernah aku lihat.” Dan setelah mengatakan
itu, aku langsung mengambil novel terbaru yang tebalnya sama seperti novel
Harry Potter and The Sorcerer’s Stone lalu pergi dari tempat itu.
Belum 2 langkah aku berjalan, dia
sudah berkata, “Kalau kau mengatakan aku bodoh, berarti kau lebih bodoh dariku.
Kau pikir kau sempurna, Fani-ssi? Ah tidak, bagaimana kalau kau kupanggil
Nyonya Yong?” Junhyun tersenyum, senyum yang mengejek.
“Cih, jangan sekali-kali kau panggil
aku dengan nama itu karena satu, aku belum menikah dan dua, aku tidak sudi
memiliki marga Yong walaupun akhirnya kita tetap akan menikah. Jika kau
bertanya apa aku lebih bodoh darimu, jawabannya TIDAK! Karena kalau aku bodoh,
aku pasti tidak akan meyepakati perjanjian itu dan mengharapkan bisa hidup
bahagia denganmu, itu sangat menjijikan.”
“Lalu bagaimana dengan Jiyong? Apa
kau berharap akan hidup bahagia bersamanya?”
Deg! Kenapa dia membicarakan Jiyong?
Apa dia tahu bahwa aku membicarakan Jiyong di taman tadi?
“Apa itu urusanmu? Untuk apa kau
membawa-bawa nama Jiyong?”
Junhyung tersenyum menang, “Hanya
untuk membuktikan bahwa aku tidak sebodoh yang kau kira, yeoja menyebalkan.”
Junhyung beranjak dari tempat duduknya dan mengembalikan buku yang ia baca.
Sebelum dia melangkah lebih jauh, terbesit ide gila di otakku. “Kau mau
bertaruh denganku?”
Junhyung menghentikan langkahnya.
Penasaran, ia menoleh ke arahku. “Apa?”
“Hanya taruhan kecil, tidak masalah
kalau kau mau menolaknya. Tapi kalau kau menolak, berarti kau takut padaku.”
tantangku.
“Tidak usah berbelit-belit, apa
tantangannya?”
“Ini soal pertandingan. Kalau kau kalah,
kau harus menyebut dirimu lebih bodoh dariku sebanyak 20 kali dan kau harus
menuruti satu permintaanku tanpa penolakan. Tapi kalau kau yang menang, kau
boleh melakukan hal yang sebaliknya padaku.”
Tanpa pikir panjang, Junhyung
langsung menyetujui tantangan ini dan pergi meninggalkan perpustakaan. Cih, dia
menyetujuinya tanpa pikir panjang. Dia pikir tim mana yang akan dia lawan?
Sombong sekali...
“Ya! Fani-a!” tegur Soyeon yang
tiba-tiba muncul dari balik rak, “Apa yang kau lakukan?”
“Memangnya apa?”
“Aku mendengar semuanya dari balik
rak buku ini!” ucap Soyeon.
“Oh, baguslah.”
“Bagus apanya? Kau menantang seorang
Yong Junhyung? Darimana bagusnya?! Apa kau tidak pernah berpikir apa
akibatnya?”
“Apa kau tidak sadar siapa yang akan
dia lawan? Tim dari Kyung Hee Cyber University belum pernah kalah selama 5
tahun berturut-turut. Jangan ragukan permainan mereka Soyeon-a, mereka lebih
mahir dari tim kampus ini. Dan setahuku tim Junhyung belum pernah melawan tim
dari sana. Jadi, dia belum tahu begaimana kekuatan tim lawan.” jelasku berusaha
menenangkan, tapi sepertinya itu belum cukup menenangkan Soyeon.
“Entahlah, aku memiliki firasat
buruk tentang ini.”
---
Soyeon memutuskan untuk menonton
pertandingan basket hari ini. Aku sendiri lebih memilih diam di perpustakaan.
Seseorang menolongku saat aku
berusaha mengambil buku di bagian teratas rak. Dan dia Jiyong.
“Ah, gamsahamnida.” aku sedikit
membungkukkan badan sebagai tanda terima kasih. Dia ternyata terlihat lebih
keren jika dilihat dari dekat.
“Ne, cheonman.” balasnya. “Ada lagi
yang bisa kubantu?”
“Cukup, aku hanya memerlukan buku
ini. Dan, err...mungkin terdengar aneh kalau aku meminta berkenalan sementara
aku sudah mengetahui namamu. Tapi mungkin kau tidak, so...Fani imnida.” aku
menjulurkan tanganku dan disambut olehnya.
“Kwon Jiyong. Dan asal kau tahu, aku
juga sudah tahu siapa namamu. Lagipula, siapa yang tidak tahu
‘Nona-Tak-Bermarga’ sepertimu.” candanya. Dan itu mengundang tawa kecil dariku.
“Hahaha...kau pasti mendengarnya
dari Baby eonnie.”
Jiyong hanya tersenyum malu. Kalau
sudah seperti ini, aku menyesali ketampanannya. Kenapa appa dan eomma tidak
menjodohkanku dengannya saja sih?
“Kau tidak menonton pertandingan
basket hari ini?” tanya Jiyong. “Sepertinya yang lain sudah berkumpul di
lapangan sekarang.”
“Hmm...ada beberapa alasan aku lebih
memilih membaca buku daripada menonton pertandingan basket, tapi aku tidak bisa
memberitahu alasanku. Kau sendiri?” aku balik bertanya.
“Mungkin karena Junhyung ikut
bermain dalam pertandingan itu...” jawabnya. Junhyung? Apa hubungannya?
“Junhyung?”
“Ne, Junhyung. Sebenarnya hubungan
keluargaku dengan keluarga Yong kurang baik. Keluarga kami bersaing ketat dalam
bisnis, tentu saja.”
Kami pun akhirnya berbincang-bincang
di perpustakaan sampai Soyeon datang dan mengajakku pulang.
Jiyong namja yang baik. Dia tipe
namja yang easy going dan bisa
membuat lawan bicaranya merasa nyaman. Kami bahkan sempat bertukar nomor
telepon. Dia sendiri yang meminta. Tapi aku akan menyesal kalau dia tidak
memintanya.
Entah apa yang membuat Soyeon
terlihat khawatir. Ketika aku sedang menyetir pun, jari-jari Soyeon tidak
berhenti mengetuk-ngetuk tas yang ia simpan di pangkuannya, tanda ia sedang
khawatir.
“Wae geurae?” tanyaku.
“Ini masalah pertandingan tadi. Apa
kau tidak mempedulikannya? Bahkan kau tidak menanyakan bagaimana hasilnya.”
Dia benar. Pertandingan. Aku hampir
saja melupakannya. “Bagaimana hasilnya?”
“Tim Seoul University menang dengan
skor akhir 67-60.” jelasnya. Soyeon memperhatikanku. Mungkin dia ingin tahu
bagaimana ekspresiku.
Dengan santai aku menjawab, “Oh,
maksudmu aku kalah, begitu? Tak apa. Aku hanya tinggal mengatakan bahwa aku
bodoh sebanyak 20 kali dan menuruti satu permintaannya. Beres kan? Kenapa kau
terlihat begitu khawatir?”
“Bukan itu yang aku khawatirkan!”
jawabnya.
“Lalu apa?”
“Aku mengkhawatirkan...err...”
Soyeon semakin mempercepat ketukan jari-jarinya.
“Apa? Bicaralah yang jelas!”
“Aku mengkhawatirkan harga dirimu?!”
jawab Soyeon dengan tegas. Harga diriku?
“Ya ya ya! Aku bukan orang bodoh!
Aku tidak akan mengatakan kalimat itu di depannya!” jawabku tidak kalah
tegasnya.
“Ini bukan masalah kau akan
mengatakan kalimat tidak berguna itu atau tidak. Aku bahkan tidak
mempedulikannya. Yang aku masalahkan adalah apa yang akan Junhyung minta
darimu. Apa kau tidak pernah berpikir sebelumnya bahwa seorang Junhyung tidak
mungkin meminta sesuatu yang berhubungan dengan uang? Dia orang kaya, apa kau
lupa?! Dia mungkin saja meminta...meminta sesuatu milikmu yang sangat
berharga!”
Shit. Soyeon benar. Bagaimana kalau
Junhyung meminta...ah, tidak! Aku mengingat-ngingat kembali kata-perkata yang
aku ucapkan pada Junhyung tadi. Dan sialnya, aku ingat bahwa aku tidak
mengucapkan satu pun pengecualian untuk permintaan itu.
“Tapi, apa mungkin seorang Junhyung
meminta hal-hal seperti itu? Apa kau bermaksud mengatakan bahwa Junhyung bukan
orang baik-baik?”
“Bukan maksudku mengatakan kalau dia
adalah ‘Nappeun Namja’, tapi aku dengar dari beberapa orang ‘terpercaya’ kalau
Junhyung sering pergi ke club malam untuk bersenang-senang. Kau tahu kan kehidupan
di club malam seperti apa? Tidak menutup kemungkinan Junhyung juga melakukan,
ehm...‘itu’ disana.” jelas Soyeon lagi.
Penjelasan ini, jujur saja,
membuatku menyesal telah melakukan taruhan dengan Junhyung. Tapi bagaimana pun
juga, aku harus menerima resikonya. Aku harus melakukan sesuatu agar tidak
terjadi apa-apa padaku nantinya.
---
“Eomma! Yang benar saja!”
Baru saja aku datang dan bergabung
dengan appa dan eomma, aku sudah menerima kabar buruk. Coba tebak apa yang
mereka katakan? Mereka akan melaksanakan pertunanganku dengan Junhyung 2 hari
lagi! 2 HARI LAGI!! Catat itu!
“Ne, 2 hari lagi sayang. Kau pasti
sudah tidak sabar kan?” ucap eomma yang tersenyum padaku.
Aku tidak menjawab apa-apa. Bukannya
tidak mau, tapi aku telah sepakat dengan Junhyung bahwa aku harus bersikap
mesra dan terlihat tidak memiliki masalah apapun di depan orang tuaku. Itu sama
saja aku harus menerima pertunangan kilat ini.
“Lebih cepat lebih baik bukan?
Pertunanganmu akan diadakan di rumah ini. Beberapa tamu penting akan hadir,
jadi siapkanlah mentalmu.” ucap appa sambil menutup koran yang ia baca.
---
Pagi ini sebelum mata kuliah pertama
dimulai, aku menyempatkan diri datang ke perpustakaan untuk menyumbangkan tiga
buku bekas yang sudah aku baca berulang kali. Di sana telah siap Baby eonnie
dan kacamata yang bertengger di matanya, eh?
“Eonnie, sejak kapan kau memakai
kacamata?” tanyaku saat menghampiri meja penjaga. Aku menyerahkan buku yang
akan kusumbangkan kepada Baby eonnie.
“Sejak hari ini. Memangnya kau
pernah melihatku memakai kacamata, Nona-Tak-Bermarga? Lagipula belakangan ini
mataku sudah tidak bisa diajak berkompromi lagi.”
“Sudah kubilang jangan terlalu
sering membaca buku di tempat gelap. Oh iya eonnie, apa buku Sherlock Holmes
yang baru sudah ada?” tanyaku.
Pandangannya menerawang ke atas,
berusaha mengingat-ngingat, dan... “Rak paling ujung sebelah kanan.”
Tanpa membuang-buang waktu, aku
langsung pergi ke rak yang dimaksud. Dan sama dengan kemarin, aku bertemu lagi
dengannya.
“Lupa atau berusaha menghindar, eh?”
“Tidak keduanya kalau yang kau
maksud adalah hasil pertandingan kemarin.” jawabku dingin dan acuh.
“Kalau begitu aku tagih janjimu.”
Aku menarik nafas pelan dan,
“Tinggal satu permintaanmu saja. Jadi, apa yang kau inginkan?”
Junhyung terlihat bingung, tapi
kemudian dia tersenyum mengejek. “Apa aku sudah tuli? Atau aku ini sudah
pelupa? Seingatku kita baru bertemu pagi ini.”
“Ani. Kau tidak tuli, apalagi
pelupa. Hanya saja kau bodoh.”
“Bukankah itu yang harus kau katakan
padaku?”
Aku berpura-pura mengingat kejadian
kemarin. Saatnya untuk membuat Junhyung terlihat bodoh. “Coba kau ingat, apa
mulutku pernah mengucapkan kata ‘di
hadapanmu’ saat aku mengatakan ‘kau
harus menyebut dirimu lebih bodoh dariku sebanyak 20 kali’? Tidak kan? So,
aku sudah mengatakan itu, tapi tidak di hadapanmu. Ada yang salah?”
Junhyung tampak diam sebentar dan, “Ani,
kau benar. Lagipula, siapa yang peduli kau akan mengatakannya atau tidak? Aku
lebih tertarik dengan...satu permintaanku.” Junhyung tersenyum. Senyum yang
menurutku sedikit...menakutkan. “Dan aku tidak ingat kalau kau pernah
mengatakan ada syarat untuk menolak permintaan ini...” ucap Junhyung sambil
berpura-pura mengingat. Menyebalkan!
Aku mulai memikirkan apa yang Soyeon
katakan kemarin. Ini membuatku khawatir. Masalahnya, aku tidak bisa menolak apa
yang dia minta. “Memangnya, apa yang kau inginkan? Aku dengar kau menyukai
mobil-mobil sport. Kau tahu Ferarri yang baru dirilis 2 minggu yang lalu? Aku pikir
mobil itu pantas dijadikan permintaan.”
Tawaranku ini membuat Junhyung
menyunggingkan seyum ‘terhina’-nya. “Kau pikir aku se-miskin itu, huh? Aku
bahkan bisa membeli 3 mobil seperti itu dengan uangku sendiri.” jelasnya.
Jawaban yang sudah aku duga sebelumnya. Bodohnya aku mengatakan hal itu.
“Lalu, apa yang kau inginkan?”
tanyaku lagi.
“Hmm...sebaiknya aku menyimpan
permintaanku ini. Jika sudah waktunya, aku akan memintanya padamu.” dengan
senyum evil-nya, dia meninggalkanku. Tapi sebelum dia benar-benar melakukannya,
dia mengatakan, “Siapkan dirimu untuk pertunangan kita nanti.”
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar