Sabtu, 19 Mei 2012

Love Is A Deal (Part 1)

Title :
Love Is A Deal (Part 1)
Author :
JunEonnie
Main Cast :
Fani (Author)
Yong Junhyung (B2ST/BEAST)
Kwon Jiyong (Bigbang)
Park Soyeon (T-Ara)
Rating :
PG
Genre :
Love, friendship, life
Length :
Chapter
Disclaimer :
The story is MINE! No PLAGIARISM please!!!
---


Fani's POV
Dan coba tebak siapa yang datang? Ternyata mereka adalah keluarga...Yong? Mwo?! Orang bernama Yong Junhyung itu akan menjadi calon suamiku?

 Aku hampir saja membuka mulutku lebar-lebar saat melihat mereka datang. Tapi eomma dengan sigap menutup mulutku dengan tatapan mautnya. Bukannya apa-apa, tapi aku yakin perjodohan ini tidak akan berhasil. Junhyung sama denganku. Sama-sama keras kepala.

Dengan segala kemampuan yang ada, aku berusaha tersenyum selama pertemuan berlangsung, begitu juga dengan Junhyung.

“Fani, coba kau ajak Junhyung jalan-jalan di taman belakang. Sepertinya duduk bersama dengan orang tua tidak membuat kalian leluasa untuk berbincang-bincang.” perintah eomma.

Sementara para orang tua membicarakan masalah perusahaan yang membosankan, aku mengajak Junhyung ke belakang.

“Kau tidak berminat menjadi artis?” tanya Junhyung tiba-tiba.

Pertanyaan itu tentu saja membuatku heran. “Mwo? Apa maksudmu?”

“Aktingmu tadi sangat hebat. Benar-benar seperti yeoja yang dengan rela menerima perjodohan ini.” jawabnya dengan senyum mengejek.

“Cih, kau pikir aku tidak tahu kau juga sedang berpura-pura? Lagipula, kalau eomma tidak menyita iPad, iPhone, MacBook, dan semua barang berharga milikku, aku tidak akan sudi tersenyum selama percakapan membosankan tadi. Lagipula, kenapa kau tidak menolak perjodohan ini? Apa kau tidak waras?”

“Kau pikir aku mau dijodohkan denganmu? Kalau bukan karena ancaman harta warisan yang akan dicabut, aku pasti akan menolak perjodohan ini secepatnya, yeoja so-perfect!” jelas Junhyung dengan nada penuh penekanan.

“Kau pikir kau sempurna? Tampan saja tidak.”

“Terserah kau mau mengatakan apa. Sekarang, aku akan menawarkan beberapa perjanjian padamu.”

Aku diam sejenak. Perjanjian? Apa maksudnya perjanjian untuk menikah lalu bercerai? Seperti yang ada di drama-drama itukah?

“Cih, aku tidak menyangka ternyata kau sering menonton drama. Perjanjian apa?”

 “Apa aku terlihat seperti namja yang sering menonton drama?” ia tertawa sinis, “Perjanjian kecil. Aku tahu kau pasti sudah bisa menebaknya. Ya, kita menikah, lalu setelah 6 atau 7 bulan kita bercerai. Mudah kan?”

“Hmm...kalau itu tidak membuat hak-ku untuk mendapatkan harta warisan dicabut, aku setuju. Yang lain?”
            
“Tidak mencampuri urusan masing-masing. Kehidupanku milikku, kehidupanmu milikmu. Arasseo?”
             
Aku pun mengangguk setuju dengan perjanjian kedua ini. “Lagipula siapa yang mau ikut mencampuri urusanmu? Urusanku jauh lebih penting. Yang lain?”
             
“Kita harus tetap mengumbar kemesraan di depan orang tua kita.” ucap Junhyung lagi. Sepertinya dia memang sudah merencanakan perjanjian ini.
             
“Ne. Ada lagi?” tanyaku.
            
“Kurasa cukup, hanya itu.”
             
“Baiklah. Dariku hanya satu, aku ingin hubungan kita dirahasiakan. Bahkan kalau kita sudah menikah. Dan, sesuai dengan perjanjianmu yang kedua untuk tidak mencampuri urusan masing-masing, aku mengartikan itu sebagai ‘kebebasan berhubungan’. Aku tidak ingin ada batasan dengan siapa aku menjalin hubungan, terutama dengan namja. Kau juga pasti setuju kan?
             
“Hmm, arasseo. Kita sepakat kan?” Junhyung mengulurkan tangannya padaku untuk bersalaman, tanda kesepakatan. Aku pun menyambut tangannya dan...terasa hangat. Berbeda sekali dengan hatinya.
             
Orang tua kami pun setuju tentang disembunyikannya hubungan kami. Alasannya sederhana, tidak ingin diganggu dengan berbagai pertanyaan yang pasti akan ditanyakan berkali-kali dan otomatis membuat kami risih. Dan kami juga mengatakan bahwa kami masih ingin menikmati status ‘single’ kami.
             
Dan ini merupakan awal yang menyebalkan untukku.

---

“Perjanjian ya...” ulang Soyeon pelan saat kami sedang duduk di taman.
            
“Ne. Sebenarnya aku agak keberatan dengan perjanjian yang pertama. Bukan maksudnya aku mulai mencintai namja itu, hanya saja aku tidak ingin memiliki status ‘janda’. Kau tahu kan bagaimana orang-orang memandang seorang ‘janda’? Apalagi kalau orang itu orang kaya. Kau tahu...kesannya seperti...barang bekas.”
             
Soyeon terlihat iba mendengar penjelasanku. Tapi dia sadar ini adalah resiko yang harus kualami. “Asal kau tidak menyepakati ‘baby project’, aku yakin semuanya akan baik-baik saja.”
             
Pernyataan itu tentu saja membuatku tertawa, “Hahaha...kau pikir aku mau mengandung anak darinya? Aku tidak ingin anakku sejelek appa-nya. Lagipula dua orang yang keras kepala tidak mungkin menghasilkan sesuatu yang baik, kan?”
             
Mendengar ini, Soyeon hanya dapat menggelengkan kepala, “Jangan sampai kau memakan perkataanmu sendiri. Lagipula, junhyung tidak jelek. Memang tidak tampan sih, tapi dia keren menurutku. Malah sangat berkharisma untuk ukuran seorang kapten tim basket.” jelasnya.
             
“Kau meyukainya?” tanyaku penuh selidik.
             
“Ya! Apa kau lupa aku ini milik siapa? Lagipula ini berdasarkan fakta. Kalau Junhyung tidak keren, kenapa dia memiliki banyak mantan kekasih?”
             
“Maksudmu, dia playboy?”
             
Soyeon tampak berpikir sejenak, “Hmm...entahlah. Dimataku ‘playboy’ adalah namja yang memiliki banyak yeojachingu dalam waktu yang sama, lebih jelasnya selingkuh. Tapi Junhyung, setahuku dia tidak pernah memiliki dua yeojachingu dalam waktu yang sama. Hanya saja sekali putus, dia pasti dengan cepat mendapatkan yang baru.”
             
“Oh, tapi siapa peduli. Toh itu urusannya. Eh, Soyeon-a, menurutmu apa alasan seorang namja memperhatikan yeoja lebih dari 5 menit dengan sembunyi-sembunyi?”
             
Bukannya menjawab, Soyeon malah balik bertanya, “Kenapa kau bertanya seperti itu?”
            
“Jawab saja dulu!” titahku.
             
“Hmm, kalau bukan karena suka, mungkin ada sesuatu yang aneh pada orang itu. Waeyo?”
             
“Sebenarnya saat aku menyumbangkan 2 buku ke perpustakaan kemarin, Jiyong terus memperhatikanku. Walaupun aku tidak melihatnya secara langsung, tapi aku merasakan itu dari sudut mataku. Aku tidak membalas tatapannya, yah sekedar pura-pura tidak melihat.” jelasku. Sebenarnya bukan hanya kemarin, beberapa kali aku menangkap basah Jiyong sedang memperhatikanku.
             
“Mungkin dia menyukaimu...tapi setahuku dia sedang mendekati seorang yeoja.”
             
“Nugu?”
             
“Molla. Ini baru gosip. Tapi jujur, aku lebih suka kau dijodohkan dengan Jiyong daripada Junhyung...”
             
“Aku juga sebenarnya menyukai Jiyong, sedikit. Tapi sudahlah. Semuanya sudah terlanjur terjadi. Jangan membuatku tambah menyesali perjodohan ini. Dan Soyeon, temani aku ke perpustakaan sekarang.”
---
            
 Entah sejak kapan perpustakaan Seoul University sesepi ini. Hanya terlihat beberapa orang yang sedang membaca buku. Biasanya perpustakaan ini selalu ramai. Tidak terlalu ramai sih, tapi setidaknya tidak sesepi ini.
             
Aku pun menghampiri meja penjaga. “Jeogiyo...” panggilku kepada wanita penjaga perpustakaan. Dia sebenarnya tetanggaku saat aku masih tinggal di daerah Mokpo. Umurnya 4 tahun lebih tua dariku. Dan kami cukup akrab, mungkin salah satu faktornya karena aku sering mengunjungi perpustakaan ini.
             
Dia menoleh dan tersenyum melihat kedatanganku. “Ah, Fani...mau menyumbangkan buku lagi, eh?”
             
“Ani. Hey, biasanya eonnie memanggilku ‘Nona-Tak-Bermarga’, sekarang kau kemanakan panggilan itu?” candaku diiringi senyuman Soyeon.
             
“Aku sedang bad mood untuk menjahilimu hari ini. Aku dimarahi Ny. Kim tadi pagi karena aku telat datang ke perpustakaan.” jelas wanita yang sering kupanggil ‘Baby eonnie’ ini. Dia memang terlihat lesu, tapi tidak membuat raut muka kekanak-kanakannya menghilang.
             
“Salah sendiri kenapa kau datang terlambat. Oh ya eonnie, kenapa hari ini perpustakaan terlihat sepi? Apa sedang ada acara di luar sana?” tanya Soyeon.
             
“Kalian tidak tahu?”
             
Aku dan Soyeon hanya bisa menggelengkan kepala. “Ckck, kemana saja kalian ini? Hari ini akan ada pertandingan basket tingkat nasional. Kalau tim Seoul University menang melawan tim dari Kyung Hee Cyber University, maka tim itu akan bertanding dengan perwakilan dari negara Jepang. Pertandingan yang sangat bergengsi, kau tahu? Dan orang-orang lebih memilih menonton pertandingan itu daripada membaca buku disini. Dan sekarang, apa kalian juga akan pergi meninggalkan tempat ini?”
            
“Ani. Aku tidak suka pertandingan basket. Lebih baik aku disini untuk membaca buku.” jawabku. Soyeon hanya bisa menatapku heran.
             
“Oh, arasseo. Kalau kau mencari buku baru, cari saja di rak paling ujung sebelah kanan.”
             
Aku hanya menganggukan kepala dan pergi meninggalkan meja penjaga, diikuti Soyeon.
             
“Ya! Sejak kapan kau membenci pertandingan basket?” tanya Soyeon.
            
“Aku tidak pernah membenci permainan itu. Yang aku benci adalah tim basket yang tadi Baby eonnie bicarakan.” jelasku, dan Soyeon pun mengerti apa yang sedang aku bicarakan.
             
Aku dan Soyeon pergi ke tempat dimana buku baru disimpan. Dan seorang namja sedang duduk di sudut tempat itu dengan memegang sebuah buku tebal, mungkin novel. Sepertinya aku kenal dengan namja itu. Dan aku memang mengenalnya.
             
Soyeon yang melihat pun segera beralasan, “Err...Fan, sepertinya aku meninggalkan ponselku di meja penjaga, aku akan mengambilnya sebentar.” dia pun pergi meninggalkanku bersama dengan namja yang sekarang sedang memperhatikanku.
             
“Apa kau memberitahu dia tentang hubungan kita?” tanya Junhyung dengan wajah dinginnya.
            
“Itu bukan urusanmu. Kalaupun iya, aku mempercayainya. Dan, sedang apa kau disini?” aku balik bertanya.
             
“Itu bukan urusanmu.”
            
“Itu memang bukan urusanku. Aku hanya ingin bertanya karena setahuku hari ini kau ada pertandingan. Kalau kau tidak ingin menjawabnya, tidak akan menjadi masalah buatku.” aku menjawab dengan sama dinginnya. Jariku masih tetap menelusuri buku-buku baru di depanku.
             
“Aku sedang menunggu pertandingannya dimulai.”
             
“Disini? Di tempat ini? Cih, aku tidak mengira ternyata kau sesombong ini.” ucapku sambil tersenyum menghina.
             
“Apa maksudmu?”
             
“Ck, aku tidak mengira ternyata lawan bicaraku sebodoh ini. Jika kau merasa tidak sombong, saat ini kau pasti sedang bersiap-siap, melakukan pemanasan atau yang lainnya. Tapi kau, kau malah duduk santai di tempat ini, membaca buku dengan tenangnya. Itu berarti kau menganggap dirimu hebat sampai-sampai tidak perlu melakukan persiapan apapun. Kau ketua tim basket tersombong yang pernah aku lihat.” Dan setelah mengatakan itu, aku langsung mengambil novel terbaru yang tebalnya sama seperti novel Harry Potter and The Sorcerer’s Stone lalu pergi dari tempat itu.
             
Belum 2 langkah aku berjalan, dia sudah berkata, “Kalau kau mengatakan aku bodoh, berarti kau lebih bodoh dariku. Kau pikir kau sempurna, Fani-ssi? Ah tidak, bagaimana kalau kau kupanggil Nyonya Yong?” Junhyun tersenyum, senyum yang mengejek.
            
“Cih, jangan sekali-kali kau panggil aku dengan nama itu karena satu, aku belum menikah dan dua, aku tidak sudi memiliki marga Yong walaupun akhirnya kita tetap akan menikah. Jika kau bertanya apa aku lebih bodoh darimu, jawabannya TIDAK! Karena kalau aku bodoh, aku pasti tidak akan meyepakati perjanjian itu dan mengharapkan bisa hidup bahagia denganmu, itu sangat menjijikan.”
             
“Lalu bagaimana dengan Jiyong? Apa kau berharap akan hidup bahagia bersamanya?”
            Deg! Kenapa dia membicarakan Jiyong? Apa dia tahu bahwa aku membicarakan Jiyong di taman tadi?
             
“Apa itu urusanmu? Untuk apa kau membawa-bawa nama Jiyong?”
             
Junhyung tersenyum menang, “Hanya untuk membuktikan bahwa aku tidak sebodoh yang kau kira, yeoja menyebalkan.” Junhyung beranjak dari tempat duduknya dan mengembalikan buku yang ia baca. Sebelum dia melangkah lebih jauh, terbesit ide gila di otakku. “Kau mau bertaruh denganku?”
            
Junhyung menghentikan langkahnya. Penasaran, ia menoleh ke arahku. “Apa?”
             
“Hanya taruhan kecil, tidak masalah kalau kau mau menolaknya. Tapi kalau kau menolak, berarti kau takut padaku.” tantangku.
             
“Tidak usah berbelit-belit, apa tantangannya?”
             
“Ini soal pertandingan. Kalau kau kalah, kau harus menyebut dirimu lebih bodoh dariku sebanyak 20 kali dan kau harus menuruti satu permintaanku tanpa penolakan. Tapi kalau kau yang menang, kau boleh melakukan hal yang sebaliknya padaku.”
             
Tanpa pikir panjang, Junhyung langsung menyetujui tantangan ini dan pergi meninggalkan perpustakaan. Cih, dia menyetujuinya tanpa pikir panjang. Dia pikir tim mana yang akan dia lawan? Sombong sekali...
             
“Ya! Fani-a!” tegur Soyeon yang tiba-tiba muncul dari balik rak, “Apa yang kau lakukan?”
             
“Memangnya apa?”
             
“Aku mendengar semuanya dari balik rak buku ini!” ucap Soyeon.
             
“Oh, baguslah.”
             
“Bagus apanya? Kau menantang seorang Yong Junhyung? Darimana bagusnya?! Apa kau tidak pernah berpikir apa akibatnya?”
             
“Apa kau tidak sadar siapa yang akan dia lawan? Tim dari Kyung Hee Cyber University belum pernah kalah selama 5 tahun berturut-turut. Jangan ragukan permainan mereka Soyeon-a, mereka lebih mahir dari tim kampus ini. Dan setahuku tim Junhyung belum pernah melawan tim dari sana. Jadi, dia belum tahu begaimana kekuatan tim lawan.” jelasku berusaha menenangkan, tapi sepertinya itu belum cukup menenangkan Soyeon.
             
“Entahlah, aku memiliki firasat buruk tentang ini.”
---
             
Soyeon memutuskan untuk menonton pertandingan basket hari ini. Aku sendiri lebih memilih diam di perpustakaan.
             
Seseorang menolongku saat aku berusaha mengambil buku di bagian teratas rak. Dan dia Jiyong.
             
“Ah, gamsahamnida.” aku sedikit membungkukkan badan sebagai tanda terima kasih. Dia ternyata terlihat lebih keren jika dilihat dari dekat.
             
“Ne, cheonman.” balasnya. “Ada lagi yang bisa kubantu?”
            
“Cukup, aku hanya memerlukan buku ini. Dan, err...mungkin terdengar aneh kalau aku meminta berkenalan sementara aku sudah mengetahui namamu. Tapi mungkin kau tidak, so...Fani imnida.” aku menjulurkan tanganku dan disambut olehnya.
             
“Kwon Jiyong. Dan asal kau tahu, aku juga sudah tahu siapa namamu. Lagipula, siapa yang tidak tahu ‘Nona-Tak-Bermarga’ sepertimu.” candanya. Dan itu mengundang tawa kecil dariku.
             
“Hahaha...kau pasti mendengarnya dari Baby eonnie.”
             
Jiyong hanya tersenyum malu. Kalau sudah seperti ini, aku menyesali ketampanannya. Kenapa appa dan eomma tidak menjodohkanku dengannya saja sih?
             
“Kau tidak menonton pertandingan basket hari ini?” tanya Jiyong. “Sepertinya yang lain sudah berkumpul di lapangan sekarang.”
             
“Hmm...ada beberapa alasan aku lebih memilih membaca buku daripada menonton pertandingan basket, tapi aku tidak bisa memberitahu alasanku. Kau sendiri?” aku balik bertanya.
            
“Mungkin karena Junhyung ikut bermain dalam pertandingan itu...” jawabnya. Junhyung? Apa hubungannya?
             
“Junhyung?”
             
“Ne, Junhyung. Sebenarnya hubungan keluargaku dengan keluarga Yong kurang baik. Keluarga kami bersaing ketat dalam bisnis, tentu saja.”
            
Kami pun akhirnya berbincang-bincang di perpustakaan sampai Soyeon datang dan mengajakku pulang.
             
Jiyong namja yang baik. Dia tipe namja yang easy going dan bisa membuat lawan bicaranya merasa nyaman. Kami bahkan sempat bertukar nomor telepon. Dia sendiri yang meminta. Tapi aku akan menyesal kalau dia tidak memintanya.
             
Entah apa yang membuat Soyeon terlihat khawatir. Ketika aku sedang menyetir pun, jari-jari Soyeon tidak berhenti mengetuk-ngetuk tas yang ia simpan di pangkuannya, tanda ia sedang khawatir.
             
“Wae geurae?” tanyaku.
             
“Ini masalah pertandingan tadi. Apa kau tidak mempedulikannya? Bahkan kau tidak menanyakan bagaimana hasilnya.”
            
Dia benar. Pertandingan. Aku hampir saja melupakannya. “Bagaimana hasilnya?”
             
“Tim Seoul University menang dengan skor akhir 67-60.” jelasnya. Soyeon memperhatikanku. Mungkin dia ingin tahu bagaimana ekspresiku.
             
Dengan santai aku menjawab, “Oh, maksudmu aku kalah, begitu? Tak apa. Aku hanya tinggal mengatakan bahwa aku bodoh sebanyak 20 kali dan menuruti satu permintaannya. Beres kan? Kenapa kau terlihat begitu khawatir?”
             
“Bukan itu yang aku khawatirkan!” jawabnya.
             
“Lalu apa?”
            
“Aku mengkhawatirkan...err...” Soyeon semakin mempercepat ketukan jari-jarinya.
             
“Apa? Bicaralah yang jelas!”
             
“Aku mengkhawatirkan harga dirimu?!” jawab Soyeon dengan tegas. Harga diriku?
             
“Ya ya ya! Aku bukan orang bodoh! Aku tidak akan mengatakan kalimat itu di depannya!” jawabku tidak kalah tegasnya.
             
“Ini bukan masalah kau akan mengatakan kalimat tidak berguna itu atau tidak. Aku bahkan tidak mempedulikannya. Yang aku masalahkan adalah apa yang akan Junhyung minta darimu. Apa kau tidak pernah berpikir sebelumnya bahwa seorang Junhyung tidak mungkin meminta sesuatu yang berhubungan dengan uang? Dia orang kaya, apa kau lupa?! Dia mungkin saja meminta...meminta sesuatu milikmu yang sangat berharga!”
             
Shit. Soyeon benar. Bagaimana kalau Junhyung meminta...ah, tidak! Aku mengingat-ngingat kembali kata-perkata yang aku ucapkan pada Junhyung tadi. Dan sialnya, aku ingat bahwa aku tidak mengucapkan satu pun pengecualian untuk permintaan itu.
             
“Tapi, apa mungkin seorang Junhyung meminta hal-hal seperti itu? Apa kau bermaksud mengatakan bahwa Junhyung bukan orang baik-baik?”
             
“Bukan maksudku mengatakan kalau dia adalah ‘Nappeun Namja’, tapi aku dengar dari beberapa orang ‘terpercaya’ kalau Junhyung sering pergi ke club malam untuk bersenang-senang. Kau tahu kan kehidupan di club malam seperti apa? Tidak menutup kemungkinan Junhyung juga melakukan, ehm...‘itu’ disana.” jelas Soyeon lagi.
             
Penjelasan ini, jujur saja, membuatku menyesal telah melakukan taruhan dengan Junhyung. Tapi bagaimana pun juga, aku harus menerima resikonya. Aku harus melakukan sesuatu agar tidak terjadi apa-apa padaku nantinya.

---

             
“Eomma! Yang benar saja!”
             
Baru saja aku datang dan bergabung dengan appa dan eomma, aku sudah menerima kabar buruk. Coba tebak apa yang mereka katakan? Mereka akan melaksanakan pertunanganku dengan Junhyung 2 hari lagi! 2 HARI LAGI!! Catat itu!
             
“Ne, 2 hari lagi sayang. Kau pasti sudah tidak sabar kan?” ucap eomma yang tersenyum padaku.
             
Aku tidak menjawab apa-apa. Bukannya tidak mau, tapi aku telah sepakat dengan Junhyung bahwa aku harus bersikap mesra dan terlihat tidak memiliki masalah apapun di depan orang tuaku. Itu sama saja aku harus menerima pertunangan kilat ini.
             
“Lebih cepat lebih baik bukan? Pertunanganmu akan diadakan di rumah ini. Beberapa tamu penting akan hadir, jadi siapkanlah mentalmu.” ucap appa sambil menutup koran yang ia baca.

---
            
Pagi ini sebelum mata kuliah pertama dimulai, aku menyempatkan diri datang ke perpustakaan untuk menyumbangkan tiga buku bekas yang sudah aku baca berulang kali. Di sana telah siap Baby eonnie dan kacamata yang bertengger di matanya, eh?
             
“Eonnie, sejak kapan kau memakai kacamata?” tanyaku saat menghampiri meja penjaga. Aku menyerahkan buku yang akan kusumbangkan kepada Baby eonnie.
             
“Sejak hari ini. Memangnya kau pernah melihatku memakai kacamata, Nona-Tak-Bermarga? Lagipula belakangan ini mataku sudah tidak bisa diajak berkompromi lagi.”
             
“Sudah kubilang jangan terlalu sering membaca buku di tempat gelap. Oh iya eonnie, apa buku Sherlock Holmes yang baru sudah ada?” tanyaku.
             
Pandangannya menerawang ke atas, berusaha mengingat-ngingat, dan... “Rak paling ujung sebelah kanan.”
             
Tanpa membuang-buang waktu, aku langsung pergi ke rak yang dimaksud. Dan sama dengan kemarin, aku bertemu lagi dengannya.
             
“Lupa atau berusaha menghindar, eh?”
             
“Tidak keduanya kalau yang kau maksud adalah hasil pertandingan kemarin.” jawabku dingin dan acuh.
             
“Kalau begitu aku tagih janjimu.”
             
Aku menarik nafas pelan dan, “Tinggal satu permintaanmu saja. Jadi, apa yang kau inginkan?”
             
Junhyung terlihat bingung, tapi kemudian dia tersenyum mengejek. “Apa aku sudah tuli? Atau aku ini sudah pelupa? Seingatku kita baru bertemu pagi ini.”
             
“Ani. Kau tidak tuli, apalagi pelupa. Hanya saja kau bodoh.”
             
“Bukankah itu yang harus kau katakan padaku?”
             
Aku berpura-pura mengingat kejadian kemarin. Saatnya untuk membuat Junhyung terlihat bodoh. “Coba kau ingat, apa mulutku pernah mengucapkan kata ‘di hadapanmu’ saat aku mengatakan ‘kau harus menyebut dirimu lebih bodoh dariku sebanyak 20 kali’? Tidak kan? So, aku sudah mengatakan itu, tapi tidak di hadapanmu. Ada yang salah?”
             
Junhyung tampak diam sebentar dan, “Ani, kau benar. Lagipula, siapa yang peduli kau akan mengatakannya atau tidak? Aku lebih tertarik dengan...satu permintaanku.” Junhyung tersenyum. Senyum yang menurutku sedikit...menakutkan. “Dan aku tidak ingat kalau kau pernah mengatakan ada syarat untuk menolak permintaan ini...” ucap Junhyung sambil berpura-pura mengingat. Menyebalkan!
             
Aku mulai memikirkan apa yang Soyeon katakan kemarin. Ini membuatku khawatir. Masalahnya, aku tidak bisa menolak apa yang dia minta. “Memangnya, apa yang kau inginkan? Aku dengar kau menyukai mobil-mobil sport. Kau tahu Ferarri yang baru dirilis 2 minggu yang lalu? Aku pikir mobil itu pantas dijadikan permintaan.”
            
Tawaranku ini membuat Junhyung menyunggingkan seyum ‘terhina’-nya. “Kau pikir aku se-miskin itu, huh? Aku bahkan bisa membeli 3 mobil seperti itu dengan uangku sendiri.” jelasnya. Jawaban yang sudah aku duga sebelumnya. Bodohnya aku mengatakan hal itu.
             
“Lalu, apa yang kau inginkan?” tanyaku lagi.
             
“Hmm...sebaiknya aku menyimpan permintaanku ini. Jika sudah waktunya, aku akan memintanya padamu.” dengan senyum evil-nya, dia meninggalkanku. Tapi sebelum dia benar-benar melakukannya, dia mengatakan, “Siapkan dirimu untuk pertunangan kita nanti.”

TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar