Eyes
Author :
JunEonnie
Main Cast :
Lee Ji Eun
Jung Ilhoon (BTOB)
Rating :
PG
Genre :
Love, classic romantic, life
Length :
Ficlet
Ps :
Sebenernya ini ff dulu yang buluk dan udah lama beres. Kenapa gak dipublish dari dulu? Soalnya ini ff buat lomba cerpen yang syaratnya ‘BELUM PERNAH DIPUBLIKASIKAN’. Beberapa hari yang lalu baru diumumin nominasinya. Di nominasi Part 1 dan Part 2 ff ini gak masuk. Nominasi Part 3 (terakhir) gak tau kapan diumuminnya tapi aku udah pesimis duluan gak akan masukTT Lagian yang masuk nominasi banyak banget, sedangkan yang menang cuma tiga cerpen. Jadi aku putusin buat mundur dan publish di blog ini. *sadar kemampuan*
Disclaimer :
Tokoh memang milik Sang Pencipta, tapi jalan cerita milik SAYA.
—
Semuanya selalu tampak begitu gelap di mataku.
Gelap…
Sangat gelap…
Aku selalu menunggu adanya setitik cahaya putih yang terlihat. Harapan dan kepercayaan itu tak pernah terwujud selama 2 tahun ini. Bayangan akan kebahagiaan, selalu ingin aku dapatkan sebagaimana orang lain rasakan.
Ini kisahku. Kisah seorang gadis berumur 23 tahun bernama Lee Ji Eun yang hidup di tengah-tengah kegelapan. Ya, kegelapan. Itu karena mataku tak bisa melihat cahaya sedikit pun. Yang ada hanyalah kegelapan yang pekat. Ini semua gara-gara kejadian itu. Kejadian yang membuat kedua mataku selama 2 tahun ini tidak bisa melihat apapun. Kejadian yang membuatku kehilangan sosok seorang ‘appa’. Kejadian yang membuat cita-citaku kandas. Kejadian yang membuatku menjadi seorang gadis buta.
Saat itu, aku bersama kedua orang tuaku sedang dalam perjalanan pulang. Hari yang indah, ditemani pemandangan langit biru bertahtakan awan putih yang terlihat lembut, juga beberapa burung yang terbang di dekatnya. Segalanya terasa menyenangkan dengan berbagai percakapan yang membuat tawa mengisi kekosongan di antara kami.
Tapi itu semua berakhir dengan begitu cepat ketika sebuah motor menabrak mobil kami dan membuat appa lepas kendali. Dan…dan…aku tidak sanggup menceritakannya lebih panjang lagi. Terlalu sakit untuk diingat. Tapi yang pasti, pengendara motor itu melepaskan tanggung jawabnya. Ya, melarikan diri. Pergi meninggalkan appa yang nyawanya sudah di ujung langit.
Setelah kejadian itu, aku lebih sering berdiam diri di rumah. Eomma selalu berusaha mencari pendonor mata yang cocok untukku. Tapi pada akhirnya selalu gagal. Sampai pada akhirnya, berita menggembirakan itu datang.
Bagai lilin kecil di tengah kegelapan. Aku melihat adanya harapan untuk bisa melihat kehidupan seperti dulu. Ini tentu saja membuatku senang. Bagaimana tidak, seorang gadis buta sepertiku diberi harapan untuk bisa melihat kembali. Ya, eomma menemukan seorang pendonor mata yang cocok.
Selama 2 minggu, aku menginap di rumah sakit. Pihak rumah sakit mengatakan bahwa mereka harus mengawasi kondisi mataku selama 2 minggu sebelum operasi dilakukan.
Dan semenjak saat itu, aku mengenal seorang namja yang berhasil merebut hatiku. Nuguya? Dia adalah seorang dokter yang ikut mengawasi kondisi mataku selain Dokter Hwang Gi. Namanya adalah Dokter Ilhoon. Jung Ilhoon.
Dia masih muda, tentu saja. Dibandingkan Dokter Hwang Gi, Dokter Ilhoon lebih sering menengok ke ruanganku. Bahkan dalam dua hari aku sudah bisa akrab dengannya.
Aku tidak tahu bagaimana rupa Dokter Ilhoon. Apa dia tampan? Gagah? Tinggi? Berkharisma? Nan molla. Dan aku tidak peduli itu. Perhatian yang ia berikan itu sangat membuatku nyaman saat berada di sisinya. Bahkan saat di rumah sakit pun, aku sering menghabiskan waktu dengan Dokter Ilhoon .
“Dokter, ini sudah malam hari kan?” tanyaku saat kami duduk berdua di bangku taman rumah sakit.
“Ne. Apa kau mau masuk kamar sekarang, Ji Eun-ah?” tawarnya. Tapi aku hanya menggelengkan kepala, tanda penolakan.
Cukup lama kami terdiam, ikut terlarut dalam suasana malam. Terdengar beberapa langkah suster yang berlalu lalang di hadapan kami.
“Dokter, apa di langit sana terlihat banyak bintang sekarang?” tanyaku dengan tatapan mengarah ke langit, seolah-olah mencari beberapa bintang, padahal sebenarnya aku tidak melihat apa-apa. Hanya kegelapan.
“Ya, banyak sekali. Semuanya bersinar terang dan indah…”
Aku sedih mendengar perkataan itu. Selama 2 tahun ini, aku ingin sekali melihat indahnya langit malam. Kegelapan tanpa bintang di mata ini tak berarti apa-apa untukku.
Menyadari ekspresiku yang berubah, Dokter Ilhoon berkata, “Jangan bersedih, sebentar lagi kau bisa melihat indahnya bintang-bintang itu. Kau bahkan bisa melihat segalanya nanti. Tersenyumlah, karena kau terlihat lebih manis saat tersenyum.” ucap Dokter Ilhoon. Aku yakin tekanan darahku naik saat ini dan membuat pipiku memerah. Aku berharap Dokter Ilhoon tersenyum saat mengatakan itu.
“Aku ingin dokter berjanji sesuatu padaku.”
“Mwoya?”
Dengan sedikit malu-malu aku berkata, “Aku ingin dokterlah orang pertama yang aku lihat setelah mata ini dioperasi…”
Beberapa saat Dokter Ilhoon terdiam. Entah apa yang dia pikirkan, tapi itu benar-benar membuatku penasaran. Dan tidak lama, Dokter Ilhoon mengatakan, “Tentu saja, aku akan menjadi orang pertama yang kau lihat nanti.”
Aku tersenyum senang mendengarnya dan berharap dia juga tersenyum sepertiku. Ini membuatku tidak sabar untuk menjalani operasi.
Satu yang membuatku agak kecewa, sepertinya eomma tidak meyukai Dokter Ilhoon. Entah apa alasannya, tapi eomma selalu berusaha menghindar saat Dokter Ilhoon datang ke kamarku. Eomma selalu keluar kamar saat dia datang. Apa mungkin karena eomma membenci seorang dokter? Aku tahu trauma eomma belum hilang saat seorang dokter berusaha melakukan ‘mal praktek’ padanya. Saat itu eomma masih berumur 15 tahun, dan dia harus mengalami hal menyeramkan seperti itu.
Aku samar-samar pernah mendengar eomma berbicara dengan Dokter Ilhoon saat aku sedang tidur.
“Keumanhae.” ucap eomma datar, tapi tersirat dalam suaranya bahwa dia memiliki perasaan lain pada Dokter Ilhoon.
“Ne?” tanyanya pelan.
“Sepertinya anakku mulai menyukaimu. Tidak usah memberi harapan palsu jika kau tidak bisa membuatnya bahagia.” ucap eomma lagi. Aku tidak tahu bagaimana ekspresi eomma saat mengatakan itu. Aku hanya bisa menduga bahwa eomma tidak menatap Dokter Ilhoon.
“Aku tidak pernah berniat melakukan itu. Bagaimana pun juga, aku dan Ji Eun memiliki jalan yang berbeda.” jelas Dokter Ilhoon dengan suara pelan.
“Kalau begitu, jauhi dia. Tidak bisakah?”
“Aku…”
Aku tidak mendengar apa-apa lagi setelah itu. Rasa kantuk ternyata mengalahkanku begitu mudah. Apa Dokter Ilhoon tidak mencintaiku sebagaimana aku yang mencintainya? Jadi, cintaku tak berbalas, begitu? Lagipula apa maksudnya ‘jalan yang berbeda’? Apa Dokter Ilhoon selalu membeda-bedakan orang seperti itu?
Aku menanyakan hal itu pada eomma saat bangun tidur. Tapi eomma mengatakan bahwa itu mungkin hanya mimpiku. Eomma juga mengaku ia belum bertemu Dokter Ilhoon hari ini. Dan jawaban itu juga yang keluar dari mulut Dokter Ilhoon.
Ini tentu saja membawaku pada kesimpulan bahwa percakapan mereka yang aku dengar hanyalah sepotong mimpi yang tak usai. Kenyataan yang membuat kekhawatiranku hilang dan aku bisa bernapas lebih lega.
Semakin hari aku semakin dekat dengan Dokter Ilhoon. Dia benar-benar orang yang sangat baik. Setiap hari dia selalu menanyakan keadaanku. Kami juga menceritakan banyak hal menarik. Dengan segala perlakuannya itu, jujur saja, aku semakin mencintainya.
Tapi, aku tidak tahu apakah Dokter Ilhoon juga mencintaiku atau dia hanya menganggapku sebagai pasien yang sedang dalam pengawasannya. Menyedihkan memang jika memikirkan itu. Tapi, tidak bolehkah gadis sepertiku berharap?
Hari yang selama 2 tahun aku tunggu akhirnya tiba. Ya, hari operasi. Menegangkan mengingat saat itu aku akan bisa melihat Dokter Ilhoon untuk yang pertama kalinya. Memecahkan segala penasaran yang selalu menghantui pikiranku.
Aku sempat berbicara dengannya sebelum operasi dimulai. Saat itu perasaan tegang terus menyelimuti.
“Kau harus berada di hadapanku saat aku membuka mata nanti, Dokter. Kau sudah berjanji.” ucapku.
“Tenang saja. Sebaiknya sekarang kau cepat ke ruang operasi. Yang lain sudah menunggumu.”
“Bersama?” tawarku.
“Maaf aku tidak bisa. Kau tahu sendiri bukan aku yang bertugas mengoperasimu hari ini. Ada yang harus aku kerjakan sekarang. Aku doakan operasinya berjalan lancar. Sampai jumpa lagi.” lalu tanpa diduga, dia mengecup keningku pelan.
Suasana hangat langsung menyelimuti perasaanku. Kecupan itu membuat keteganganku akan operasi berkurang. Ada rasa lega yang entah datang dari mana. Membuat darah di tubuhku tiba-tiba terasa panas membara.
Sebelum Dokter Ilhoon benar-benar pergi, aku memanggilnya, “Dokter…!”
Walaupun tak terlihat, tapi aku bisa mendengar langkahnya terhenti, “Ne?”
“Gomaweo…” ucapku diiringi senyum terbaik yang pernah kumiliki.
“Cheonman. Setelah bisa melihat nanti, hiduplah dengan bahagia.”
Aku tersenyum mendengarnya. Tentu saja, aku akan bahagia. Bisa melihat Dokter Ilhoon merupakan kebahagiaan pertamaku. Eomma pun datang bersama beberapa perawat. Entah berapa orang perawat yang ada, yang pasti mereka membawaku ke ruang operasi. Ke ruang yang akan membuat duniaku terbuka kembali. Ke ruang yang akan membuatku bisa melihat Dokter Ilhoon.
Tapi sepertinya takdir berjalan lain.
Operasinya memang berjalan lancar. Tapi aku tidak menemukan kehadiran Dokter Ilhoon. Bahkan saat perban di mataku mulai dibuka pun, eomma-lah orang pertama yang kulihat. Bukan Dokter Ilhoon. Ya, bukan dia.
Kemana Dokter Ilhoon? Kenapa dia mengingkari janji? Apa terjadi sesuatu padanya? Dokter Ilhoon bukanlah tipe orang yang suka mengingkari janji.
Aku bertanya pada eomma, tapi sepertinya ia enggan menceritakan apa-apa padaku. Eomma terlihat sedih saat aku menyebutkan nama Dokter Ilhoon. Lalu perlahan, eomma mengeluarkan sebuah surat dari tas dan memberikannya padaku.
Aku merasakan sesuatu yang ganjil saat memegang surat kecil berwarna coklat itu. Perlahan, aku membuka isinya dan membacanya pelan.
Dear Lee Ji Eun,
Gadis yang kini telah melihat dunia
Apa kabar Ji Eun-ah? Bagaimana keadaanmu? Aku yakin kau baik-baik saja sekarang, karena kalau tidak, mana mungkin kau bisa membaca surat ini.
Maaf aku tidak bisa memenuhi janjimu untuk menjadi orang pertama yang kau lihat. Itu semua karena…akulah yang mendonorkan mata itu padamu.
Mianhae, mianhae, mianhae…
Maaf karena aku telah berbohong padamu. Aku bukanlah seorang dokter seperti yang kau tahu selama ini. Aku hanya lelaki biasa yang mengidap penyakit kanker hati stadium akhir dan telah menjadi pasien di rumah sakit ini semenjak 3 bulan yang lalu.
Aku juga minta maaf karena akulah…yang telah membuat appa-mu meninggal dan membuatmu terjebak dalam dunia kegelapan selama dua tahun belakangan ini.
Ya, pengendara motor yang menabrak mobil kalian adalah aku. Aku sedang dalam keadaan tidak sehat saat itu. Kepalaku terasa pusing dan aku lepas kendali.
Aku hidup dengan diselimuti rasa bersalah selama dua tahun belakangan ini. Awalnya, aku menolak untuk mendonorkan mataku. Tapi setelah aku tahu bahwa kau adalah korban kecelakaan yang disebabkan oleh kesalahanku, aku langsung menyetujuinya. Sekarang kau tahu kan kenapa eomma-mu tak pernah menunjukan sifat ramahnya padaku? Ya, dia sudah mengetahui semuanya dari awal.
Aku mendekatimu karena aku sudah menyukaimu sejak kau pertama kali datang ke rumah sakit ini. Dan sepertinya tidak mungkin aku memperkenalkan diri sebagai orang yang telah membuat hidupmu menderita.
Ji Eun-ah, aku tidak tahu apa kau menyukaiku atau tidak, tapi yang pasti aku menyukaimu. Dan rasa suka itu kini berubah menjadi cinta. Ya, aku mencintaimu. Tapi aku terlalu takut untuk mengungkapkan perasaanku ini. Peringatan akan masa depan kita yang berbeda menyuruhku untuk diam. Aku merasa sangat kotor dan tak pantas. Aku berharap mata itu bisa menghapus sebagian kecil dosaku.
Aku telah mendonorkan mataku untukmu. Aku mohon jagalah dengan baik. Mata ini adalah bukti cintaku padamu. Aku harap dengan melihat dunia, kau bisa melihatku, lebih tepatnya melihat cintaku. Kau akan tetap berada di hatiku. Selalu dan selamanya.
Hanya ini yang bisa kuceritakan padamu. Mianhae, mianhae, mianhae. Semoga kau mau memaafkan lelaki pengecut ini. Hiduplah dengan bahagia, karena kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku juga.
Dari yang mencintaimu,
Jung Ilhoon
Jung Ilhoon
Surat itu…surat itu menjelaskan semuanya. Surat itu menjelaskan mengapa ia sangat perhatian padaku. Surat itu menjelaskan mengapa eomma selalu bersikap dingin padanya. Surat itu menjelaskan apa arti kecupan terakhirnya. Surat itu menjelaskan bahwa aku…tidak akan pernah mengetahui siapa dirinya.
Mataku terasa panas dan berair. Akhirnya air mata perlahan mulai jatuh ke pipiku. Ini menyedihkan. Aku sangat ingin melihat bagaimana sosok seorang Ilhoon. Aku menginginkan kehadirannya sekarang. Aku ingin berterima kasih padanya, tapi kesempatan itu tak akan pernah datang. Dia telah pergi…pergi ke dunia nan jauh di sana…
Air mata ini mengalir semakin deras. Aku berteriak histeris untuk menetralkan rasa perih di hati ini. Beberapa orang suster datang karena suara teriakkanku. Dan setelah beberapa saat kemudian, ruangan ini berubah menjadi gelap.
Aku tak sadarkan diri.
Beberapa hari setelah kejadian itu, aku lebih banyak diam. Aku merenungkan semuanya. Pengorbanan, cinta, dan balas budi. Mengapa tiga hal itu harus berjalan secara berdampingan? Mungkinkah Ilhoon akan mencintaiku jika bukan dia yang menyebabkan kecelakaan itu?
Entahlah. Semuanya telah terjadi begitu saja. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menjaga mata ini baik-baik. Mata ini, satu-satunya pemberian dari Ilhoon. Mata ini, satu-satunya hal yang menghubungkan cintaku dengan Ilhoon. Mata ini…adalah cinta.
Ilhoon, apa kau bahagia di sana? Aku yakin kau bahagia karena aku juga bahagia di sini. Kau akan bahagia jika aku bahagia, bukan? Aku berjanji akan terus hidup bahagia agar kau juga ikut merasakan kebahagiaan ini.
Jeongmal gomaweo. Terima kasih atas semuanya. Rasa nyaman, perhatian, cinta, dan mata yang kau berikan, tidak akan pernah lepas dari ingatanku. Terima kasih karena kau telah menjadi jembatanku menuju cahaya kehidupan yang lebih indah. Kau akan selalu tercatat dalam satu bagian terindah memori ini. Gomaweo…
Saranghae, Jung Ilhoon…
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar