Title :
Love Is A Deal (Part 2)
Author :
JunEonnie
Main Cast :
Fani
Yong Junhyung (B2ST/BEAST)
Kwon Jiyong
Park Soyeon
Rating :
PG
Genre :
Love, friendship, life
Length :
Chapter
Ps :
Seperti biasa, bawa ember buat persiapan muntah:p
Sorry mungkin FF ini publish tiap part-nya bakalan agak lama, soalnya FF author yang belum kelar masih banyakTT
Masalah FF “JunEonnie”, mungkin bakal mulai dipublish lagi. Aku gak
jadi ngirimin naskah itu ke penerbit. Wae? Soalnya aku mulai sadar kalo
FF aku belum bisa masuk standar penerbitan dan lagian, aku gak yakin FF
“JunEonnie” bakal tamat taun ini #poorauthorTT
Gak mau kebanyakan cuap-cuap ah…langsung ke cerita aja ya!
—
Junhyung’s POV
Yeoja itu…aku memang harus menguras otak jika berbicara dengannya.
Lidahnya tajam sekali. Untung saja dia yeoja, kalau tidak, sudah kupukul
dia!
Aku berjalan menuju lapangan basket. Seperti biasa, hari ini adalah
jadwal latihan. Dan sepertinya aku datang paling akhir karena kulihat
yang lain sudah berkumpul semua.
“Kita mulai latihan sekarang, kapten?” tanya Hongki sebelum aku duduk
di sebelahnya. Dia seperti sedang kesulitan dengan tali sepatunya.
“Sudah datang semua?” tanyaku.
“Seungri belum. Eh, itu dia datang.” Hyunseung menunjuk ke arah luar
lapangan. Sepertinya Seungri tidak datang sendiri. Yap! Dia datang
bersama yeoja itu lagi.
Victoria, dia tetangga Seungri. Mahasiswa Universitas Seoul tingkat
2. Sudah 1 bulan ini dia mengikutiku terus. Seungri mengatakan bahwa
Victoria menyukaiku dan rela menjadi kekasihku yang ke…berapa ya? Aku
sendiri lupa. Tapi sayang, dia tidak menarik. Dia juga tidak terlalu
cantik. Masih jauh kalau dibandingkan dengan Fani. Ups, apa aku memuji
yeoja itu? Ani, it’s the fact. Hanya orang tidak waras yang
mengatakan kalau Fani itu jelek. Tapi seseorang perlu dipertanyakan
kewarasannya jika mengatakan Fani memiliki tutur kata yang halus.
“Oppa!” teriak Victoria sambil berlari-lari kecil ke arahku, “Aku membawakan makanan kesukaanmu! Makanlah sebelum latihan.”
“Ya! Victoria-ssi, kau tidak memberikannya pada kami?” protes Taeyang.
“Ini khusus untuk Junhyung oppa. Kalau oppa mau, bikin saja sendiri, wee…!”
Dasar anak kecil manja! Sudah kubilang jangan memberikan bekal sampah
seperti itu padaku. Apa dia tuli? Kalau saja panggilan ‘Yeoja Killer’
benar-benar pembunuh yeoja, akan kuhabisi dia.
“Oppa kan sudah bilang, tidak usah membawakan oppa bekal lagi,
Victoria. Oppa sudah makan di rumah. Berikan saja itu pada yang lain.”
ucapku dengan senyum yang biasa kugunakan untuk melumpuhkan yeoja. Dan
Victoria pun cemberut mendengarnya.
“Shireo! Aku ingin oppa yang memakannya! Titik.” dia meletakan tempat
makanan itu di bangku. “Oppa, apa sore ini oppa ada acara? Aku harap
oppa mau menemaniku pergi ke mall. Otte?”
“Hmm…mianhae, sore ini oppa ada acara. Pergilah dengan Seungri.” aku menunjuk Seungri yang sedang minum. Sontak dia tersedak.
“Uhuk uhuk…aku tidak bisa, banyak acara.” tolaknya cepat.
“Aku tidak mau dengan Seungri oppa! Kalau begitu, bagaimana nanti lusa? Kau pasti bisa kan oppa?” tanyanya lagi.
“Lusa? Keluarga oppa akan mengadakan acara kecil. Kemungkinan besar
oppa tidak akan masuk kuliah. Hey, apa kau tidak ada jadwal kuliah pagi
ini? Pergilah ke kelasmu, oppa tidak mau seongsaenim memarahimu.”
titahku lembut.
“Ck, arasseo.”
Victoria pun pergi meninggalkan lapangan basket. Huff…dasar manja!
Aku sudah berkali-kali menolak ajakannya. Apa dia tidak sadar bahwa
secara halus aku sudah menolaknya?
“Aku tidak mengerti denganmu, Jun.” ucap Hyunseung setelah memastikan Victoria tidak bisa mendengar suaranya.
“Wae?”
“Kau tidak menyukainya tapi kau terus bersikap sangat baik padanya. Apa sulit untukmu mengatakan ‘jangan-ganggu-aku-lagi’?”
Aku tertawa mendengar pertanyaan Hyunseung, “Haha…tidak semudah itu
kalau kau memanggilku ‘Yeoja Killer’. Itu kan alasan kalian memanggilku
seperti itu?”
“Yeah, dasar playboy.” ucap Thunder yang baru bersuara. “Memangnya ada acara apa nanti lusa?” tanyanya.
“Bukan hal penting. Ayo kita latihan!” aku beranjak dari bangku dan
menuju ke tengah lapangan. Tapi sebelum itu, aku membuang makanan yang
diberikan Victoria tadi ke tempat sampah.
—
Hari ini adalah hari pertunanganku. Tidak seperti kebanyakan orang
yang merasa gugup saat akan bertunangan, aku merasa biasa saja. Aku
hanya sedikit meyesal mengapa orang tuaku mempertunangkanku di umur yang
masih dibilang muda. Apalagi aku ditunangkan dengan yeoja yang
mengerikan.
Pertunangan ini diadakan di rumah Fani. Rumahnya terasa berbeda kali
ini karena mereka menambahkan beberapa bunga hias, meja, dan kursi-kursi
putih yang ditata serapi mungkin.
Appa-ku tipe orang yang bisa menjamin perkataannya sendiri. Dan itu
terbukti saat aku melihat tamu yang datang. Hanya beberapa tamu penting
yang hadir, sama seperti apa yang appa katakan. Dan pertunangan kecil
ini pasti akan dibalas dengan pesta pernikahan besar-besaran.
“Junhyung-a, sebentar lagi acaranya akan dimulai, bisa tolong kau
panggilkan Fani di kamarnya? Sepertinya sekarang dia sudah selesai.
Kamarnya di lantai atas. Setelah naik tangga, belok kanan. Kamarnya
sebelah kiri.” jelas Nyonya Eli sambil menunjuk-nunjuk ke arah tangga.
“Ah, ne eommonim.”
Aku pun pergi ke lantai atas menuju kamar Fani. Seorang wanita muda
keluar dari kamarnya. Mungkin seorang penata rias karena dia membawa tas
transparan berisi peralatan make up. Dia melihatku sekilas dan
tersenyum, lalu pergi ke bawah.
Aku melihat Fani dari luar kamar. Dia sedang duduk di depan meja
rias, melamun memandang dirinya sendiri. Entah karena efek cahaya yang
masuk dari jendela atau Fani yang memang cantik hari ini. Balutan long
dress semerah darah membuat kulitnya seperti bersinar. Dia benar-benar
terlihat seperti model yang sedang melakukan pemotretan.
“Apa aku secantik itu?” ucap Fani tanpa mengubah arah pandangannya.
Ia sadar aku terus memperhatikannya dari tadi. Ini membuatku agak malu.
“Ya, kau memang cantik. Tapi tidak secantik ucapan-ucapan tajammu.”
jawabku. Aku mendekati Fani dan berdiri di belakangnya, dan terlihatlah
bayangan kami di cermin. “Sepertinya hari ini kita serasi sekali ya,
huh?” aku tersenyum mengejek.
“Menurutmu? Aku ingin semuanya berjalan lancar hari ini. Jangan
melakukan kesalahan apapun, arasseo?” titahnya dengan wajah datar.
Aku kembali tersenyum, “Haruskah aku mendengar ucapanmu? Sepertinya kau sedang memikirkan sesuatu. Apa aku benar?”
Fani menghelai nafas panjang, “Apa kau serius dengan ini? Maksudku, apa kau tidak berencana membatalkan pertunangan ini?”
“Aku serius. Ini memang sudah perjanjian kan?” tanyaku balik yang
heran dengan sikapnya hari ini. Kata-katanya pun terkesan tidak terlalu
tajam.
“Apa kau tidak ingin bertunangan atas dasar cinta? Atau kau memang
sudah tidak bisa jatuh cinta?” tanyanya lagi. Sepertinya dia menyesal
dengan pertunangan ini.
“Aku dan kau sama. Kita terlahir sebagai anak orang kaya. Dulu, saat
aku masih kecil, aku pernah bermimpi ingin menikah dengan seorang yeoja
yang sangat kucintai. Tapi aku sadar bahwa aku, termasuk kau, tidak bisa
terus memimpikan hal itu. Kita adalah jembatan harta bagi orang tua
kita. Kita adalah perjanjian yang mengikat antara kerja sama orang tuaku
dan orang tuamu. Jadi, mau tidak mau aku, termasuk kau, harus
menerimanya.”
Fani diam mencerna kata-kataku. “Jadi maksudmu, orang-orang seperti
kita hanya bisa merasakan cinta yang lahir dari sebuah perjanjian? Jadi
sebenarnya, cinta itu hanyalah sebuah perjanjian, begitu?” dia menatapku
datar, menunggu jawabanku. Tapi aku tidak menjawab pertanyaannya itu.
“Pikirkan itu nanti. Sekarang ayo kita turun. Sebentar lagi acaranya akan dimulai.”
Acara berlangsung sampai pukul 2 siang. Untungnya selama acara tidak
ada masalah apapun. Fani pun bisa berakting dengan baik. Dia terlihat
bahagia berbincang-bincang dengan para tamu. Aku pun diperlakukan dengan
sangat baik olehnya. Dan itu aneh.
Tapi dia cantik.
Entah mungkin karena dia bukan keturunan asli Korea, aura di wajahnya
terlihat berbeda sekali. Dan dia terlihat yang paling menonjol. Tentu
saja karena ini acaranya, eh, acara kami maksudku.
Untungnya dari beberapa tamu yang hadir, tidak ada satupun mahasiswa
dari Universitas Seoul, maksudku, tidak ada yang anaknya mahasiswa dari
Universitas Seoul. Kalau ada, mati aku.
Aku dan Fani sudah sepakat kalau cincin pertunangan hanya dipakai di
depan orang tua kami saja. Tidak mungkin kan kalau aku memakai cincin
yang sama dengan Fani di kampus sementara yang orang tahu, aku tidak
memiliki hubungan apapun dengannya?
Sepintas, aku teringat perkataan yeoja itu sebelum acara pertunangan dimulai.
“Apa kau tidak ingin bertunangan atas dasar cinta? Atau kau memang sudah tidak bisa jatuh cinta?”
Atas dasar cinta? Saat aku masih berumur 12 tahun, aku pernah
menyukai tetanggaku dan berniat untuk menikahinya. Lucu memang mengingat
saat itu aku masih belum dewasa. Tapi aku benar-benar menyukai
tetanggaku itu. Dan tanpa alasan yang jelas, dia pindah ke luar negeri.
Sayang aku sudah lupa siapa namanya.
Mungkin karena kejadian itulah yang membuatku tidak pernah serius
menjalani cinta. Aku sendiri lupa sudah berapa yeoja yang pernah menjadi
kekasihku. Tapi apa ini berarti aku sudah tidak bisa mencintai
seseorang dengan serius?
Entahlah. Bisa atau tidak, faktanya aku sudah bertunangan sekarang, walaupun pertunangan ini didasari oleh perjanjian.
Junhyung’s POV End
—
Fani’s POV
Hari pertama setelah pertunangan, tidak ada yang berubah. Maklum,
pertunanganku kemarin hanya dihadiri beberapa tamu penting. Lagipula,
aku juga tidak ingin ada orang lain yang tahu bahwa aku sudah memiliki
tunangan. Apalagi tunangan seperti Junhyung.
Mungkin jika orang lain tahu, mereka akan menganggapku beruntung.
Junhyung terkenal sangat baik pada yeoja, dia juga kaya. Hanya
segelintir orang yang tahu kalau Junhyung membenci Jiyong. Orang-orang
akan mengatakan bahwa kami adalah pasangan yang serasi. Tapi tidak
untukku.
BRUKK!!
Seseorang menabrakku saat aku sedang berjalan menuju kelas pertama dan membuat semua buku yang aku pegang berjatuhan ke lantai.
“Jiyong-ssi?”
“Ah, Fani-ssi, mianhae. Sepertinya aku terlalu berkonsentrasi pada
ponselku sampai-sampai tidak melihatmu. Sekali lagi aku minta maaf.”
ucap Jiyong dengan senyum manis sambil membawakan buku-bukuku yang tadi
berjatuhan dan memberikannya padaku.
“Gwenchana. Ini salahku karena terus melamun.” jawabku. Dia
benar-benar terlihat keren dengan kaos biru sapphire dan jeans
skinny-nya itu.
“Kau mau kemana sekarang, Fani-ssi?”
“Oh ayolah, jangan panggil aku se-formal itu, terdengar tidak akrab. Panggil saja aku Fani.”
Jiyong tertawa kecil, “Baiklah, kalau begitu kau juga jangan
memanggilku Jiyong-ssi, arasseo?” aku menangguk tersenyum, “Dan kau
belum menjawab pertanyaanku. Jadi, kau mau kemana?”
“Kelas Park seongsaenim. 15 menit lagi kelasnya dimulai.” jawabku.
“Kalau begitu ayo kita pergi sama-sama. Kebetulan aku harus pergi ke ruangan Kim seongsaenim sekarang.”
Kelas pertamaku memang tidak jauh dari ruangan Kim seongsaenim. Dan,
seperti yang sudah kuduga, orang-orang memperhatikan aku dan Jiyong.
Entah itu tatapan iri atau kaget, mata mereka tidak lepas dari gerak
gerik kami. Termasuk Junhyung yang sedang berdiri di depan pintu
locker-nya.
“Jadi, ini yeoja yang sedang kau incar itu? Seorang Miss Perfect
Seoul University, huh?” tanya Junhyung tiba-tiba saat kami berjalan
melewatinya. Ekspresi dingin tidak pernah lepas dari wajahnya.
“Pentingkah kau tahu itu?” Jiyong balik bertanya dengan tak kalah
dinginnya. Dan ini pertama kalinya aku melihat Jiyong seperti itu.
“Sepertinya ya.” Junhyung memandangku sekilas dengan tatapan penuh
arti, lalu kembali pada Jiyong, “Waeyo? Kau malu mengakuinya?” Junhyung
tersenyum mengejek.
“Tidak usah pedulikan dia. Ayo kita pergi.” ajakku pada Jiyong. Aku menarik tangannya, tapi dia malah menahannya.
“Sepertinya kau bermasalah jika aku dekat dengan Fani. Kau merasa tersaingi?”
“Hmm…ani. Kenapa aku harus merasa tersaingi? Siapa tahu Miss Perfect
ini sudah memiliki kekasih atau…tunangan mungkin?” senyum mengejeknya
kini berubah menjadi senyum evil. Apa sebenarnya dia bermaksud
menyindirku?
“Yah…terserah kau mau mengatakan apa. Apa peduliku? Ayo Fani, kita
pergi.” Jiyong langsung menarik tanganku pergi. Kulihat Junhyung belum
melepas senyum evilnya itu. Apa benar Jiyong sedang mengincar yeoja? Dan
yeoja itu…aku? Aku tidak mungkin menanyakan hal itu padanya, akan
sangat memalukan untukku.
Siangnya, Jiyong mengajakku makan siang di cafe dekat kampus. Bukan
cafe besar memang, tapi karena desainnya yang elegan, cafe ini terlihat
seperti cafe berkelas.
Karena waktunya makan siang, beberapa mahasiswa datang ke cafe ini.
Kehadiranku dan Jiyong sepertinya menarik perhatian mereka. Beberapa
dari mereka langsung berbisik pada temannya saat melihat kami. Tak ingin
terganggu, akhirnya kami memilih tempat duduk di pojok dekat jendela
luar.
“Kau mau pesan apa?” tanya Jiyong.
“Samakan saja dengan pesananmu.” jawabku. Lalu Jiyong menulis di
selembar kertas kecil dan menyerahkannya pada pelayan. Apapun yang ia
pesan, aku tetap akan memakannya. Bukankah tidak sopan sudah dipesankan
makanan tapi kita tidak memakannya?
“Fani, jangan pikirkan perkataan Junhyung tadi pagi, ok?”
“Tenang saja, aku tidak pernah memikirkannya.” jawabku.
Beberapa saat kami terdiam. Sesekali Jiyong memperhatikan wajahku, lalu memandang keluar jendela sambil tersenyum.
“Waeyo? Ada yang salah dengan wajahku?” tanyaku.
“Ani. Hanya saja kau…sangat manis.” jawabnya. Sial, wajahku pasti memerah sekarang.
“Hey, kenapa hidungmu tidak memanjang?” aku berpura-pura memperhatikan hidungnya. Jiyong terlihat heran dengan pertanyaanku.
“Apa maksudmu?”
“Kau tahu kan Pinokio? Hidungnya pasti memanjang kalau berbohong…”
Jiyong tertawa mendengar ucapanku, “Jadi maksudmu aku berbohong,
begitu? Aku serius, kau memang manis. Apalagi dengan pipi merahmu itu.”
“Ya! Berhentilah membuatku malu!” ucapku.
“Belajarlah menyadari itu. Oh iya, aku meneleponmu dua kali kemarin tapi ponselmu tidak aktif. Waeyo?”
“A, aku pergi seharian kemarin, dan aku lupa membawa ponsel.” jawabku
sedikit gugup, “Memangnya ada apa?” aku balik bertanya. Bukannya lupa
membawa ponsel, tapi eomma menyita poselku kemarin sebagai ancaman kalau
aku tidak melancarkan acara pertunangan. Dan itu tentu saja membuatku
kesal.
“Oh, ani. Aku hanya ingin meneleponmu kemarin. Orang tuaku pergi ke
acara pertunangan anak kerabatnya, entah siapa itu. Aku merasa kesepian,
makanya aku meneleponmu, tapi ternyata kau sedang sibuk.” jelasnya.
Pertunangan? Apa orang tua Jiyong menghadiri pertunanganku? Oh my God…
“Pe, pertunangan siapa?”
“Entahlah? Mereka tidak mengajakku. Lagipula aku juga tidak tertarik untuk ikut. Kau terlihat gugup, waeyo?”
“A, ani.”
Fuhhh…aku sedikit lega. Ternyata Jiyong tidak tahu apa-apa tentang pertunanganku. Dan itu bagus!
Aku sedikit risih dengan pandangan orang-orang yang sepertinya
tertarik sekali apa hubunganku dengan Jiyong. Selama kami makan, mereka
tidak henti-hentinya melirik kami lalu berbisik bisik.
“Wah wah wah…popular couple sedang berkencan di cafe ini.” ucap seseorang dari belakangku. Sepertinya aku mengenal suara namja ini.
“Mau mengganggu kami lagi, eh, Junhyung-ssi?” tanya Jiyong sinis.
“Bagaimana kau tahu itu?” ucap Junhyung terseyum sinis. Ia tidak
datang sendiri, melainkan ditemani Seungri dan seorang yeoja yang kalau
tidak salah namanya…siapa ya? Vikitia? Vilarina? Venesa? Viktoria?
Entahlah, aku lupa. Yeoja itu, entah perasaanku saja atau bukan, tapi
sepertinya dia memandangku dengan ekspresi sinis.
“Pergilah. Aku sedang tidak ingin mendapat hiburan dalam bentuk
gangguan. Ah aku lupa…keluarga Yong memang hobi sekali mengganggu,
bukan?” jawab Jiyong yang tak kalah sinisnya.
“Hey hey hey…sejak kapan keluarga Kwon lebih baik dari keluarga Yong?
Apa ada sejarahnya? Bukankah pekerjaan keluargamu belakangan ini
menghilangkan perusahaan-perusahaan kecil?”
Mendengar ini, aku refleks berdiri dan menampar pipi mulus Junhyung
dengan keras. Ini tentu saja
membuat para pengunjung cafe melihat ke
arah kami.
“Ya! Apa yang kau lakukan yeoja brengsek?!” yeoja yang sedari tadi
memandangku sinis, mencaciku dan langsung menyentuh pipi Junhyung yang
baru saja aku tampar. Tapi Junhyung malah menepisnya.
Aku marah, tentu saja. Memang keluraga yang Junhyung hina bukan keluargaku, tapi bukankah hinaannya terlalu berlebihan?
“Diam kau anak kecil!” aku menunjuk pada yeoja itu dan berbicara pada
Junhyung, “Dan kau, Junhyung-ssi! Bisakah kau menjaga mulutmu? Baru
kali ini aku menemui orang seperti kau. Apa kau tidak pernah diajari
bagaimana cara berbicara yang baik dan sopan?!”
“Sudah Fan, biarkan saja dia. Ayo kita pergi.” ajak Jiyong. Tanpa
menunggu kata-kata lain dari Junhyung dan tanpa menghiraukan tatapan
kaget orang lain, kami pergi dari cafe setelah membayar makanan.
“Mianhae, tadi aku sama sekali tidak bermaksud mencampuri urusanmu dengan Junhyung, tapi…”
“Gwenchana. Walaupun mengejutkan, tapi aku senang kau melakukan itu
padanya. Setidaknya, dia harus merasakan itu.” ucap Jiyong tersenyum.
—
“Kau makan siang dengan Jiyong? Dan Junhyung datang? Dan..dan….”
“Yap! Aku menampar dia di hadapan semua orang.” ucapku pada Soyeon
saat kami berjalan di koridor kampus sorenya. Matanya terbelalak saat
aku menceritakan kejadian tadi siang.
“Kau gila?! Kau menampar seorang ‘Yeoja Killer’? Apa kau tidak pernah berpikiran panjang? Dia pasti akan membalasnya Fani!!”
“Kalau begitu aku akan menghindarinya.” jawabku cuek.
“Memangnya kau bisa menghindariku?” tanya seseorang di belakang kami. Pasti dia lagi!
Soyeon dengan gugup berbalik dan menyapa orang itu, tapi aku tetap diam tak bergeming. “A, annyeong Junhyung-ssi…”
“Annyeong, ehmm…Soyeon-ssi?”
“Ne, Soyeon imnida. Sepertinya kau ada perlu dengan Fani. Kalau
begitu aku pergi duluan. Fani, aku tunggu kau di mobil.” lalu Soyeon
pergi meninggalkan kami. Aku berpikir untuk menyusul Soyeon, tapi belum
satu langkah aku berjalan, Junhyung sudah mendorongku ke tembok dengan
kasar.
“Ya! Apayo..!!”
“Apayo? Kau pikir bekas tanganmu di pipiku tidak terasa sakit hah?!” bentaknya.
“Kalau kau mau membahas kejadian tadi siang, tidak sekarang! Aku
sedang sibuk! Permisi!” aku mendorong tubuhnya menjauh tapi dia menahan
bahuku kuat.
“Kau mau lepas tangan setelah menamparku hah?” ucapnya sinis.
“Memang kenapa? Kau mau melaporkanku ke polisi atas tindak kekerasan
tadi? Cih, dasar manja!” jawabku tak kalah sinisnya. Suruh siapa dia
menghina keluarga Kwon?
“Kau pikir aku mau repot-repot pergi ke polisi? Kau dengar baik-baik, jauhi namja bernama Jiyong itu!”
Aku tersenyum sinis mendengarnya, “Kau cemburu padaku? Kau mencintai Jiyong, huh?” ucapku mengejek.
“Rupanya kau menganggap ini main-main ya, Miss Perfect? Aku yakin kau
sudah tahu bagaimana hubungan keluargaku dengan keluarga Kwon, iya
kan?”
“Kalau aku tahu memangnya kenapa? Apa kau lupa dengan perjanjian kita
untuk tidak mencampuri urusan masing-masing?!” aku berbicara dengan
nada penuh penekanan. Memangnya salah kalau aku dekat dengan Jiyong?
Yang bermasalah kan dia dan keluarganya, bukan aku!
“Aku tidak pernah lupa dengan perjanjian itu. Tapi jika masalahnya
menyangkut keluarga Kwon, ini bukan urusan ‘masing-masing’ lagi!
Keluargamu juga tahu kalau keluargaku tidak memiliki hubungan baik
dengan keluarga Kwon. Dan apa kau ingin orang tuamu tahu bahwa anaknya
yang sudah bertunangan, dekat dengan musuh tunangannya?!” ancamnya.
Tekanan tangannya di bahuku semakin kuat.
“Kau mau mengancamku? Apa hanya mengancam yang bisa kau lakukan? Ya!
Lepaskan tanganmu dari bahuku! Kau mau membuat tulangku patah hah?!” aku
mendorong tangannya kuat, tapi dia tetap diam tak bergeming.
“Kau mau aku balas menamparmu? Sayang, aku tidak akan melakukan itu
pada yeoja. Lihat saja, kalau kau tidak menjauhi Jiyong, salah satu
perjanjian kita batal. Aku tidak akan segan-segan membuatmu terpaksa
meninggalkannya!”
Sebelum aku berkata apapun untuk membalasnya, dia pergi tanpa sepatah
kata pun. Tekanan tangannya di bahuku membuat tulang bahuku terasa
sakit.
Cih, apa maksudnya dia mengancamku? Sejak kapan dia berhak melakukan
itu? Aku menyukai Jiyong, apa itu salah? Aku dan Junhyung hanya terikat
pertunangan. Lagipula, siapa yang tahu aku sudah bertunangan dengannya
selain para tamu yang hadir?
Aku pun langsung menceritakan kejadian tadi pada Soyeon saat di
perjalanan. Dan dia hanya bisa berkata, “Kau dalam masalah besar, Miss
Perfect.”
To Be Continued..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar